


Waktu menunjukkan pukul 00.00 Wib, segera 2019 datang menyapa. Dentuman demi dentuman suara kembang api sahut menyahut di angkasa. Warna-warni cahaya bak pelangi yang berantakan memecah kegelapan angkasa malam itu (1 Januari 2019). Indah memang, walau kadang beberapa suara kembang api itu seperti akan memecahkan telingaku. Ah, kunikmati sajalah pemandangan indah di atas sana. Sempat juga aku berkata woww...menyaksikan pecahan-pecahan api yang keluar seperti tersusun dan memiliki tugas masing-masing. Satu pecahan memunculkan pecahan yang lain dan memunculkan warna yang berbeda-beda pula. Pencipta kembang api itu lumayan hebat, fikirku sejenak. Terlintas juga dalam fikiranku berapa harganya ya? Kalau dikalikan sekian banyak kembang api jadi berapa rupiah ya harganya?
Sambil terus menikmati dentuman kembang api itu, terlintas lagi pertanyaan, mengapa harus meledakkan kembang api di malam tahun baru Masehi ini ya? Kan bisa juga dengan mematikan lampu selama 5 menit saja di seluruh dunia ini bagi yang merayakannya, fikirku sejenak. Tapi pasti semua ada alasannya. Yok kita tinjau alasannya, mengapa hal tersebut menjadi sebuah budaya.
Bukan tanpa tujuan, 1 Januari didedikasikan Julius Caesar untuk Dewa Janus, Dewa segala Gerbang dan Permulaan.
Hal ini tercantum dalam The World Book Encyclopedia volume IV yang terbit pada 1984 dalam halaman 237.
Dewa Janus sendiri dipercaya memiliki dua wajahWajah yang satu menghadap ke depan, sementara wajah lainnya menghadap ke belakang. Ini seolah menggambarkan masa lalu dan masa depan.
Atas dasar kepercayaan itu, Kaum Pagan hingga kini masih meneruskan tradisi ini dan selalu menyalakan kembang api di setiap malam tahun baru. Tak hanya itu, mereka juga membuat api unggun, serta bergandengan tangan mengitarinya.
Selanjutnya, membunyikan lonceng dan meniup terompet sebagai pertanda tahun baru telah tiba. Maka dari itu, tak heran jika pergantian malam tahun baru selalu identik dengan pesta kembang api dan terompet.
(http://kupang.tribunnews.com/2017/12/31/asal-usul-perayaan-malam-tahun-baru-penghormatan-pada-dewa-berwajah-dua-yang-sarat-makna?page=all)
Nah....Setelah membacanya, kita telah mengetahui bahwa memang sampai hari ini budaya kembang api di malam pergantian tahun masih tetap lestari dan menjadi budaya bagi sebagian masyarakat. Ingat, sebagian masyarakat. Siapa itu? ya orang-orang yang merasa bahwa ia adalah bagian dari orang-orang yang pantas untuk melestarikannya.
Kebudayaan memang bersifat relatif (relatifisme kebudayaan), sebuah budaya akan baik di mata pemeluknya tapi belum tentu di mata pemeluk kebudayaan lain. Di negeri Indonesia kita yang Multikultur ini ada berbagai kebudayaan yang hidup dan terus berjalan. Untuk itu biarkan semua kebudayaan itu hidup dengan sendiri-sendiri tanpa harus mengganggu apa yang menjadi tradisi dalam kebudayaan orang lain. Etnosentrisme memang hidup dalam diri seseorang, tetapi biarlah ia hidup dalam diri sendiri dan tidak membuncah dan terejawantahkan dalam sikap dan perilaku negatif di masyarakat.
Toleransi adalah kata yang paling penting dalam suasana kehidupan masyarakat yang multikultur, yang penting silahkan laksanakan apa yang menjadi budayanya, dan jangan lakukan apa yang tidak menjadi budayanya.
Semoga Negeri ini tetap menjadi negeri yang damai, sejahtera dan memahami arti kemajemukan.
Saya Ikhwan Rivai Purba, semoga hari esok lebih baik dari hari ini..Amiin.
ADS HERE !!!