Tahun 98 masuklah seorang wanita ke sebuah jurusan (departemen) dimana aku kuliah. Sebagai mahasiswa baru tentu ia agak malu-malu ketika berinteraksi dengan orang lain yang berada di kampus itu. Bersama beberapa temannya yang satu jurusan, dimana jumlah mereka satu angkatan juga tidak banyak, mereka selalu bersama-sama jika kemana-mana, ya masuk kelas, ke kantin, duduk duduk dan beberapa aktivitas lainnya.
Jurusan akan melantik mahasiswa antropologi yang akan tamat, lalu ketua jurusan meminta beberapa mahasiswa untuk memberikan penampilan guna menghibur mahasiswa yang akan dilantik itu. Ehhh....ntah kenapa namaku, dan 3 orang cewek, satu diantaranya adalah "dia" si mahasiswa baru yang pada saat itu dia tidak lagi mahasiswa baru yang disuruh untuk memberikan hiburan. Wuihh....agak malu-malu dan grogi, akhirnya kami bersepakat untuk membawakan 2 buah lagu saja. Pertama, cikitita, dan kedua, leaving on the jet plan....bangga juga aku bisa mengiringi mereka bertiga menyanyikan lagu tersebut. Dengan dentingan dan rambasan gitar, aku memainkannya sambil mataku selalu melihat kepadanya. Tapi tak sengaja bertemua pandang, aku purak-purak tersenyum dan mengikuti lagu itu...hahaha....macam pengagum rahasia awak jadinya..
"cause i'm leavin' on a jet planee.....dont know when i'll be back again...oh babe, i hate to go..."
lirik itu masih terus terngiang saat pertunjukan berakhir....wuihhhh
Setelah banyak hal yang harus dikerjakan di kampus, terutama skripsi, aku tak lagi memikirkan dia, selain itu dia juga sibuk dengan urusannya, karena selain urusan kuliah, dia juga selalu berada di atas panggung, panggung ke panggung, menari ke sana kemari, sampai ke negeri China sana, berteater, dari satu judul ke judul lain, bahkan sampai peran yang berorientasi uang (profit), terserahlah itu hidupnya, dan aku juga bukan siapa-siapanya kok. Akhirnya status sebagai seorang mahasiswapun segera berakhir seiring sidang meja hijau yang sudah selesai aku laksanakan. Eh...berkebetulan pula aku sidang bersamaan hari dengan juniorku yang waktu itu aku sebut sebagai girlfriendku, sebut saja namanya si Z. Sidangpun selesai dan kami pulang dengan jalan kaki bersama menuju simpang sumber (padang bulan). dalam perjalanan pulang itu otakku sebenarnya berfikir bagaimana dengan rasa yang sudah ada ini ya? tapi sepanjang perjalanan kami tak juga berbicara sedikitpun tentang rasa yang ada pada kami....Hmmm, entah kami, entah aku aja...
Sampailah kami ke simpang sumber itu dan perpisahanpun akan segera tiba....
Belum lagi sempat aku mengucapkan kalimat-kalimat tertentu kepada si Z, sebuah sepeda motor Shogun berwarna biru menyapanya dan mengajaknya pulang. Di atasnya seorang pria agak gemuk dan berkulit agak hitam menyapanya, dan tanpa basa-basi si Z mengatakan "duluan ya bang...", sejenak aku terdiam dan dengan segera juga menjawab "iya, iya," sambil agak tersenyum, dan waktu itu senyum itu berada di atas keperihan hatiku...Aku terbayang semua pembicaraan-pembicaraan kami tentang "mantan" pacarnya dan hubungannya sekarang dengan "mantan" pacarnya itu, dimana si Z mengatakan bahwa ia telah putus dan tidak berhubungan lagi denga mantan pacarnya itu. Kenyataan berkata lain, di depan mataku ternyata ia masih berhubungan dan malah pakai dijemput-jemput segala....mesra bah...kata orang batak.
"Brengsek", fikirku sejenak dan aku segera melupakan apa yang pernah kami lalui bersama. Konon kata si Z, hubungan kami itu terkesan tidak serius karena aku juga tak memberikan reaksi yang jelas atas apa yang ia sudah tunjukkan kepadaku. Mungkin ia benar, seorang anak kos yang bernama Iwan ini masih kurang berani membina hubungan yang serius dan tidak ter ekspresikan dalam perilaku layaknya seorang yang sudah berhubungan secara emosional alias pacaran. Tapi mungkin si Z tidak tau bahwa hati ini pada waktu itu tidak seperti apa yang dia lihat, hanya saja mungkin butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian dan memastikan hati. Tapi tidak seperti buat si Z, buatnya yang penting dijalani aja, nanti dalam proses perjalanan hubungan itu ternyata ada hal-hal prinsip yang tak bisa menyatukan kami lagi, maka mungkin perpisahan akan terjadi dengan sendirinya, tapi kalau dalam proses perjalanan hubungan itu malah semakin menyatukan, maka mungkin di situlah awal kami akan bersama......(terbawa emosi awak menceritakannya bah..), hehe.
Aku telah jadi sarjana, si Z dan juniorku yang sempat aku hayalkan itu telah hilang dari fikiranku, dan aku fokus pada pencarian kerja, agar aku bisa tetap bertahan menjalani kehidupan ini.
Lebih kurang 3 tahun sudah berlalu...tiba-tiba terdengar kabar bahwa salah satu dosenku waktu kuliah dan juga merupakan ketua jurusan pada waktu itu meninggal dunia (Alm. Bapak Amir Syamsu Nadapdap) karena terlalu lelah olahraga badminton, walaupun itu hanya bahasa lain untuk menyatakan bahwa ajalnya telah tiba.
mendengar itu aku merasa terpanggil untuk menjenguk ke rumah duka. Kebetulan waktu itu aku sudah memiliki sepeda motor dan sudah mengajar di sebuah sekolah (Al Azhar Medan). Dengan mengendarai sepeda motorku aku berangkat ke rumah duka. Sampai di rumah duka, aku terkejut dan membuat jantungku kembali berdegup, bukan karena melihat kondisi Almarhum, tetapi karena aku kembali bertemu dengan juniorku yang dulu sempat aku hayalkan dan sempat bernyanyi bersama di kampus. Hampir salah tingkah, aku menegurnya dan ia menegurku kembali dengan senyumnya yang aduuuhh....manis sekali. Purak-purak tak perduli dengannya aku melayat dan bertemu juga dengan teman-teman semasa kuliah yang juga datang untuk melayat. Setelah selesai melayat semua yang datang akan kembali pulang ke rumah masing-masing. Akupun pulang menuju tempat kos ku. Sekitar 100 meter aku melaju, aku bertemu dengan sekelompok anak gadis yang sedang berjalan pulang dan kulihat junior idamanku dulu juga berada di antaranya. Aku melewatinya dan terdengar kalimat "bang...berani kali abang pulang gak bonceng ika..", suara itu terdengar setengah berteriak. Aku menoleh kebelakang sambil terseyum dan sedikit tertawa, walau tak sepatah katapun kulayangkan. Aku bingung entah perkataan apa yang mau kuucapkan untuk menyambut kalimatnya itu. Sepeda Motorku terus melaju sambil jantungku berdetak agak keras, tapi perasaanku senang sekali waktu itu. Sudahlah, fikirku...akupun sampai di Kos ku dengan selamat.
Sekitar 2 hari berjalan, dan pada malam hari sekitar pukul 20.00 wib, handphoneku berdering beberapa kali. Segera kuangkat dan membuka pembicaraan dengan kata "Hallo..". Karena tak ada nama yang terdaftar dalam hapeku aku tak tau siapa yang menelfon waktu itu. Ia menyuruhku untuk menebak siapa yang sedang menelponku. sebentar aku mengingat suara ini, "siapa ya.., si Z ya?" kataku, karena sepertinya ada nada suara yang agak sama di telingaku. "Bukan.." katanya membalas. "Siapa jadi?" sahutku kembali. Ia masih menyuruhku menebak siapa dia. Habis sudah ingatanku menerka siapa yang sedang menelpon. "Nyerah, aku gak tau.." kataku dengan pasrah. "Ika..." katanya dengan tenang. Nyuuut....jantungku berdebar kembali kesenangan dan segera membalas dengan girang setiap pertanyaan dan pembicaraan yang berlangsung di antara kami. Lama sudah pembicaraan itu berlagsung, tak terasa sudah 2 jam kami berbincang, dan akhirnya iapun menyelesaikan pembicaraan itu. Aku tutup hapeku dengan perasaan senang tak terkira. Senyum selalu terlihat di wajahku ketika sedang berbicara dengan teman-teman koskku, sampai mereka agak heran dan mengatakan "cemana? cew...cew?"..aku cuma tertawa dan mengatakan bahwa itu adalah temanku kuliah.
Keesokan harinya ia kembali menelpon dan kami berbincang kembali dengan waktu yang relatif lama, hampir rata-rata setiap hari kami berbincang sekitar 2 jam, dan bagiku itu terasa masih kurang. sekitar 2 minggu kami berbincang via handphone, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu tidak hanya di udara. Kamipun menyepakati tempat bertemu dan berbicang satu sama lain. Mulai saat itu tak ada waktu yang membuatku tak teringat padanya. Baik SMS atau telpon selalu hadir hampir 2 jam sekali. Barangkali itulah orang yang sedang jatuh cinta...hehe.
Kebetulan ia juga sedang kuliah Pasca Sarjana Teknologi Pendidikan, maka aku juga akhirnya sering membantunya mengerjakan beberapa tugas-tugas kuliahnya. Kucoba tuk memahami materi kuliah itu walau terkadang aku tak mengerti, tapi itulah perjuangan dan ekspresi rasa sayangku kepadanya. Seorang Teman kuliahnya bernama Nia, cukup support dengan hubungan kami. Tak lupa terima kasihku juga kepadanya yang sering memberikan fasilitas tempat untuk kami bertemu di rumahnya, walau kadang dengan alasan mengerjakan tugas kuliah mereka. Seorang S1 yang mencoba membantu tugas seorang mahasiswa S2...hehe, aneh memang, tapi mungkin hasil pekerjaan bukan tujuan utama baginya dan bagiku, tapi pertemuanlah yang menjadi tujuan utama kami. Terima Kasih Nia, dan sekarang ia sudah mengabdi menjadi seorang dosen di Universitas yang aku lupa nama Universitasnya. Good Luck kerabat....
Setelah beberapa bulan bersama, maka aku terfikir kenapa gak sama-sama aja terus, dan akupun bertanya kepadanya "kalau udah gini, nikah aja yok?"...Ternyata buatnya pertanyaan itu seperti sangat dalam maknanya, seperti sebuah simbol keseriusan seorang laki-laki, seperti sesuatu yang tidak mungkin, tapi juga seperti main-main. Ia mempertanyakan keseriusanku dan aku mengatakan bahwa aku memang serius. Aku membiarkannya untuk berfikir beberapa hari dengan pertanyaanku tadi, dan akhirnya pada esok malamnya ia menelfonku kembali untuk membicarakan pertanyaanku semalam. Memang ia sih...berbicara di telfon terkadang memang lebih bisa leluasa. Ia bertanya banyak hal dan aku menjawab apa adanya diriku. Salah satu yang sangat penting untuk diketahui adalah persoalan gaji, yang nantinya akan menjadi penopang kehidupan dalam berumah tangga. Aku jelaskan berapa pendapatanku perbulan, ia juga menjelaskan bahwa ia juga mendapatkan gaji yang tidak begitu jauh berbeda denganku pada waktu itu. Intinya kami memang tidak mempermasalahkan berapa pendapatan kami sebulan pada waktu itu. Mendengar ia tak bermasalah dengan pendapatanku aku semakin senang dan rasanya aku semakin semangat melakukan aktivitasku setiap hari. Selanjutnya ia menawarkan agar aku menemui orang tuanya (ibunya) untuk menyampaikan niat baikku ini kepadanya. Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang terserak-serak itu, aku mendatangi ibunya dan menyampaikan niatku kepadanya. Ibunya yang penampakannya sangat berwibawa itu menyambut baik maksudku itu asal anaknya sudah mau dan beliau (Almarhumah) merasa aku ini orang baik....sukurlah kalau calon mertua ini masih melihat sesuatu yang baik dalam penampilanku sementara itu. Tapi aku memang bukan orang jahat lo...
Tak hanya itu aku juga menyampaikan niatku itu kepada orang tuaku (mamakku) dan mamakku juga mempersilakannya, tapi ia mau bertemu juga terlebih dahulu dengan calon menantunya itu. Aku sampaikan kemauan mamakku itu kepadanya. Ternyata ketakutannya lebih besar dari ketakutanku bertemu dengan orang tuanya. Apalagi waktu itu penampilannya layaknya seorang bintang film india, rambut agak pirang melurus, hidung bertindik, blezer selalu menjadi pakaian pavoritnya, bekerja di salah satu Bank Swasta di Medan, sudah bisa dibayangkan bagaimana penampilannya waktu itu, dan ia merasa bermasalah dengan penampilannya itu ketika akan bertemu dengan mamakku, yang sempat terceritakanku kalau boleh dibilang agak religiuslah, lalu aku bilang "gak apa-apa, daripada purak-purak"..hehe. "Terserah abanglah.." katanya.
Mamakku sengaja datang ke rumah abangku dan aku membawanya ke sana. Degup jantungnya tak karuan ketika kami ucapkan salam untuk memasuki rumah abang kandungku itu. Kamipun duduk sambil aku mencoba menguasai suasana agar tidak terlalu tegang. Ahh.. ternyata mamakku memang jauh lebih dewasa dari aku,dan ia sangat memahami situasi psikologis kami dan mamakku ini mampu membuat pertemuan itu sangat sangat familier dan tidak memunculkan aura yang mengerikan. Selesailah pertemuan itu dengan suasana seperti yang diinginkan.
Tapi Allah swt lah yang memiliki semua jiwa dan menguasai langit dan bumi dan semua yang berada di dalamnya. Calon mertuaku itupun sakit parah dan akhirnya meninggal dunia sebelum kami sempat melangsungkan pernikahan. Sedih memang, tapi itu tidak berpengaruh kepada hubungan kami yang sudah kami sepakati untuk terus kami pegang sampai ke jenjang pernikahan. Sekarang tinggallah Ayahnya (Papanya) yang harus aku hadapi untuk bisa terus berhubungan sampai ke jenjang pernikahan. Tidak seluruhnya berjalan lancar, aku harus dihadapkan pada persoalan keinginan keluarganya beserta beberapa saudaranya yang menginginkan calon laki-laki yang tidak seperti aku ini, tidak kaya, tidak begitu ganteng...hehe, kurus dan dianggap tidak punya masa depan yang paten, ditambah lagi persoalan uang yang harus aku berikan untuk mengikuti kehendak beberapa saudara-saudara papanya itu. Waktu itu aku sempat rendah diri juga, dan menyampaikan kekecewaanku kepada kemauan famili-familinya itu. Tapi, ika, panggilan untuk namanya menguatkanku dan mengingatkanku bahwa inilah cobaannya dan menyuruhku tenang dan mengatakan bahwa semua ada solusinya. Ika hanya berpegang pada apa yang ibunya sudah setujui dan ridho itu yang paling penting buatnya. Ika, harus berdebat dengan famili-familinya persoalan calon suaminya, dan mengatakan bahwa dialah yang akan menjalani hidup denganku , bukan famili-familinya itu. Akhirnya karena kuatnya niat yang dilihat famili-familinya maka merekapun mengalah dan mengikuti apa mau ika dengan niatnya. Setelah semua aman terkendali, akupun segera mengajak keluargaku untuk melamarnya, dan keluargaku sudah siap untuk itu.
Pelamaranpun berlangsung, kedua pihak keluarga bertemu sambil menjalin silaturrahim. Suasana pelamaran berlangsung dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti. Dalam proses pelamaran itulah telah ditentukan kapan hari akad nikah akan dilangsungkan. Senang sekali hatiku ketika proses pelamaran itu telah selesai dengan lancar dan hari pernikahan sudah ditentukan. Akupun pulang beserta rombongan keluargaku. Di perjalanan pulang beberapa saudaraku banyak bertanya tentang ika dan aku menjelaskan apa adanya dia, dan yang jelas mereka saudara-saudaraku itu senang dan bahagia dengan proses pelamaran yang baru saja mereka lewati, tentunya dengan membawa kenangannya masing-masing.
Hari pernikahanpun tiba..
Degup jantungku ketika akan menjalani prosesi pernikahan tak bisa dilukiskan. Segala rasa ada di sana. Takut, grogi, senang, serasa gak percaya diri dan beberapa rasa lain yang tak dapat kusebutkan satu persatu. Bersama keluarga besarku, kami mengendarai mobil yang kami pinjam waktu itu, maklumlah, aku belum bisa beli mobil pada masa itu. kami berangkat menuju rumah idaman hatiku yang dulu pernah aku impi-impikan. kendaraan melaju tenang, diiringi beberapa mobil keluargaku yang tepat berada di belakang mobil yang membawaku. Tak membutuhkan waktu yang lama, kami telah tiba di lokasi pesta dan akad nikah, yaitu di rumah calon istriku itu. Kamipun dipersilahkan masuk, beberapa keluarga perempuan menyambut kami denga hangat sambil mengatur posisi duduk para keluargaku itu. ternyata Tuan Kadi yang akan menikahkan kamipun sudah berada di dalam rumah menunggu kedatangan kami. Semakin berdenyut jantungku menghadapi situasi itu. Kucoba tenangkan diriku sambil mengambil tempat yang sudah disediakan. Beberapa keluargaku tampak berbincang pelan-pelan dengan beberapa keluarga pihak perempuan sementara itu, tuan Kadi mempersiapkan segala persiapannya untuk melangsungkan akan nikah.
Sebuah meja kecil berada di tengah ruangan, aku sadar bahwa aku akan berada di depan meja itu bersama calon mertuaku. Sebuah acara yang baru pertama aku lihat di tempat itu adalah bahwa sebelum pernikahan, si calon istri memohon izin kepada ayahnya untuk menikahkannya. Calon istrikupun memulai permohonannya. Seluruh orang yang ada di ruangan itupun diam tanpa ada sedikit suarapun yang keluar. Disalamnya tangan papanya seperti orang yang sedang
Sungkem (istiah Jawa) lantas iapun berbicara
" Pa.....hari ini ika mau nikah, (air mata mulai menganak sungai di pipinya, suara mulai tersengal, beberapa tamu yang hadir baik keluargaku dan keluarganya cepat sekali terbawa emosi dan menitiskan air mata),
ika tau pa...ika banyak sekali bersalah sama papa, (kulihat papanya akhirnya tak juga mampu menahan air matanya yang dari awal sudah mulai menggenang dan akhirnya harus tumpah membasahi pipinya dan sebagian harus jatuh ke kumisnya yang agak tebal, dan menyaksikan itu, aku yang dari awal bertekad untuk tidak menitikkan air mata ternyata harus pasrah dengan suasana yang sangat mengharukan itu. Dua sosok seniman teater yang saat itu harus larut dalam peran yang sesungguhnya yang tanpa skenario itu, melepaskan naskah yang dibuat oleh hati mereka masing-masing, larut....semakin dalam),
ika juga belum bisa menjadi kebanggaan papa, (dengan suara yang agak parau dan menusuk jantung papanya, semakin deras air mata di pipi mereka berdua, dan suara tarikan ingus berkali-kali kudengar dari tamu-tamu yang hadir di ruangan itu),
untuk itu semua pa...sebagai anak papa...ika mohon ma'aaaaf sedalam-dalamnya,
ika mohoooon sama papa, agar papa merestui ika, dan mau menikahkan ika pa... (
kuat sekali energi kesedihan yang hadir di ruangan itu. Tak kuasa papanya menghentikan tangisnya, lantas memeluk anak perempuan pertamanya itu, sambil menggenggam mic dan menjawabnya..).
Ika sayang...anak papa, papa sangat bangga sama ika....( kembali air mata menderas di pipi ika anaknya, suara papanya yang biasa sangat garang itu, kini tersengal..)
ika harapan papa...ika tak pernah bersalah sama papa...papalah yang bersalah sama ika...papa merestui pernikahan ika....dan papa akan menikahkan ika sekarang yaa..( Anggukan anaknya dan kalimat "iya pa.." terdengar dari dalam pelukan papanya).
Aku dipersilahkan maju ke depan dekat meja akad nikah, begitu juga dengan calon mertuaku itu sambil menghapus sisa air matanya yang masih tersisa sedikit. Bidan pengantin terlihat memperbaiki
make up calon istriku itu karena telah agak rusak oleh tangisannya tadi. Para saksi dari kedua pihak keluarga di suruh mendekat untuk menyaksikan akad nikah tersebut. Om Aswan (begitu aku memanggilnya, sepupu calon mertuaku, sebagai saksi pihak perempuan), dan Omoyok (begitu aku memanggilnya, adik ibuku, sebagai saksi pihak keluargaku), terima kasihku yang tak terhingga kepada kalian berdua. Kamipun di suruh bersalaman dan mengucapkan kata-kata akad nikah yang sebelumnya sudah dilatih-latih terlebih dahulu. Setelah tuan Kadi mempersilahkan calon mertuaku itupun berucap "
Saya nikahkan putri kandung saya, Siska Windayuni Hasibuan dengan mahar sebuah Al Qur"an dibayar tunai." Aku langsung menjawab
"Saya terima nikah Siska Windayuni Hasibuan dengan mahar sebuah Al Qur'an dibayar tunai." Sontak suara tamu dan saksi mengatakan "SAH"...bibirku segera berucap "Alhamdulillahirobbil'alamiin". Tuan Kadipun berdo'a...
Sejenak aku terbang ke masa lalu.....juniorku yang pada saat itu tidak memiliki hubungan apa-apa, kini menjadi istriku. kuterbayang saat lantunan lagu
leaving on the jet plane kami nyanyikan bersama sebagai anak antropologi dan sebagai senior dan junior di kampus. kuterbayang saat aku sok mengerjakan tugas mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan, padahal awak masih S1 dengan keilmuan yang tidak nyambung dengan teknologi pendidikan, aku juga terbayang saat melihatnya bersama teman-temannya melintas dari depan kantin fisip usu dan aku mengaguminya dalam hati, aku terbayang saat pertama aku berbincang dengannya di kantin berdua, masih sebagai senior dan junior yang pada saat itu aku hanya bermimpi seandainya adek ini jadi pacarku..., kuterbayang tawa dan cerianya menjalani kehidupannya di kampus dan waktu itu perasaan mustahil untuk memilikinya selalu aku tanamkan dalam diriku agar aku tidak menjadi seperti pungguk merindukan bulan.., dan kuterbayang ketika aku melihat bibirnya dan balutan mata oleh kain penutup di saat inisiasi, kusempat berujar dalam hati tentang kekagumanku kepadanya, dan ternyata malaikat mengaminkan do'a dari hatiku yang sangat jujur pada saat itu...
Hari ini ....adalah jawaban atas do'a yang dihadirkan hatiku, bukan mulutku.