TEMPAT
ORANG BESAR DALAM MASYARAKAT HAGEN TRADISIONAL DI DATARAN TINGGI TENGAH NUGINI.
(sebuah
resume dan refleksi)
Tulisan
tentang Orang Besar (Big Man) ini
adalah sebuah tulisan yang menggambarkan sebuah kepemimpinan yang terjadi
tanpa otoritas atau kewenangan yang
penuh. Kepemimpinan Big Man ini harus
disertai dengan kemampuan memenuhi kebutuhan sosial, pandai menguasai tanah
atau berproduksi dari tanah itu. Kemudian pandai dan dermawan dalam
membagi-bagi bahan dan barang, serta menguasai keterampilan retorikal. “Orang Besar” menduduki
posisi kepemimpinan yang timbul dari konteks etnografik yang istimewa.
Kedudukan itu mencerminkan aspek-aspek umum kepemimpinan di dalam suatu
kekerabatan, sebuah kerangka nonhierarkis. Pemimpin tersebut tidak dapat
memerintahkan atau menjalankan kekuasaan yang tidak semestinya terhadap
pengikut-pengikutnya, dan pertalian yang mengikat pemimpin itu dengan
pengikutnya terutama berdasarkan kekerabatan.
Seorang
Big Man harus mampu menghimpun
kekuasaan,yang di dalam masyarakat kekerabatan berarti ikatan matrimonial,
tanggungan dan ketersediaan sumberdaya sosial dan material untuk menunjang
mereka. Statusnya terjamin oleh kemampuannya memobilisasi pengikut yang terdiri
dari kenalan dan kerabat. Pada tingkat lokal, ia harus menyatakan solidaritas
dari kelompok teritorial yang bersangkutan dan harus pula memperluas aliansi
supralokal, artinya disini juga harus mampu membina kerjasaman dengan penguasa
atasan atau kekuasaan di tingkat yang lebih tinggi.
Tulisan
tentang Big Man ini dibatasi pada
Dataran Tinggi Tengah Nugini, yang secara ringkas dapat dapat saya ceritakan
sebagai berikut :
Bahwa salah satu pembahasannya adalah tentang Big
Man (orang besar) dari perspektif mengenai pertukaran dan ekonomi.
Hubungan yang erat dengan posisi ekonomi si orang besar dalam masyarakatnya
menjadi peranan politikalnya. Beberapa penulis menggambarkan si orang besar
sebagai despot (orang yang memerintah secara sewenang-wenang), bahkan sebelum
datangnya orang-orang Australia dengan kebijaksanaan mereka tentang hubungan
bertahap dan pasifikasi . beberapa penulis yang lain menunjukkan bahwa
raja-raja lalim itu timbul di Dataran Tinggi Tengah melalui pengaruh Australia
atau setidak-tidaknya kehadiran politik tradisional yang dipengaruhi Australia.
Seorang Penulis tentang orang besar ini (Salesbury) membuat perbedaan antara
pemimpin yang sesungguhnya , yang sudah menjadi despot sebelum orang-orang
Australia datang, dan pemmimpin-pemimpin yang tingkatnya lebih rendah, yang
lebih bergantung pada pada pendapat khalayak dan mendukung kedudukan mereka.
Mereka yang disebut terakhir ini harus menanggapi resiko karena menjadi despot
walaupun dapat memanfaatkan kehadiran orang-orang Australia untuk menjadi
lalim. Tetapi Salesburi dalam sebuah bagian justru membantah pendapatnya
sendiri:
Kejadian
ini menunjukkan bahwa, walaupun pendapat khalayak tidak memperlembut despotism
pribumi, cukup terdapat peluang bagi para pemimpin menjadi sangat
sewenang-wenang dan berkuasa dalam hubungannya dengan para pendukung nominal.
Kesewenang-wenangan itu tidak hanya diterima secara pasif tetapi juga disetujui
juga oleh para pendukung, asal saja hal itu berarti keuntungan materill dan
pencurian agresi lain terhadap kelompok anggota maupun pihak luar. Jarang orang
merasa hendak mencoba menentang seorang despot; bila niat hendak menentang itu
timbul pada sebahagian besar masyarakat Nugini dan sekiranya memungkinkan untuk
dilakukan, rakyat justru memilih bergabung dengan seorang despot.
Pernyataan di atas
menurut saya terkesan seperti ada sebuah ketakutan yang berlbihan pada despot,
dan ternyata memang ketakutan tersebut selain hanya karena adanya dukungan dari
pihak Australia, juga dikarenakan ada semacam kekuatan supranatural yang
dimiliki oleh despot dalam menjalankan kekuasaannya.
Kelompok-kelompok di dataran tinggi juga berbeda-beda
dalam hal besarnya otoritas yang mereka berikan kepada orang besar mereka dan
tingkat kesewenang-wenangan yang dapat diterima, dengan kata lain, tingkat
otonomi yang mereka berikan. Dalam tulisan ini cenderung mengenai ciri-ciri
orang besar, dan kekuasaan yang harus dilakukan oleh pengikut di depan
pemimpinnya. Karena pertukaran kerang tetap merupakan cara yang terpenting
untuk menjadi orang besar dalam pengertian tradisional.
Identifikasi
orang besar
Peranan orang besar
sangat meresap dalam masyarakat, namun sukar untuk disebut dalam istilah yang
jelas dan tidak samar-samar. Dalam beberapa kasus, para pemberi keterangan yang
menentukan “ si anu itu orang besar.” Kali yang lain merekapun ragu-ragu, atau
mereka menyebutkan kedudukan seseorang lain. Ada pro dan kontra dalam penentuan
orang besar. Jika seseorang mengatakan seseorang sebagai orang besar yang
berasal dari keturunan yang sama, bisa saja orang dari keturunan yang lain mengatakan
bahwa seseorang yang dikatakan sebagai orang besar itu disebutkan mereka
sebagai “pembual”.
Ungkapan “orang besar” telah diterjemahkan dengan
berbagai cara. Yang paling umum ialah wua
nuim, yang berarti orang yang kaya dan penting sekali. Padananya adalah wua ou yang secara harfiah berarti
“orang besar”. Kebalikan wua nuim ialah
wua korupa atau orang urakan. Untuk
mempertegas istilah ini, orang menyebutnya wua
korupa kop. Kata kop berarti
kering. Tetapi seluruh ungkapan itu juga diterjemahkan oleh seseorang pemberi
keterangan sebagai “orang yang menunduk sambil memandang”, yaitu orang yang
selalu meminta barang-barang. Bagaimanapun juga, ia orang yang banyak terlibat
dalam banyak pertukaran, atau apapun yang dilakukannya terutama yang berkaitan
dengan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Ia tidak dermawan atau murah hati, juga tidak memberi hadiah balasan bilamana
diperlukan. Anak perempuannya akan kawin dini karena si orang besar itu tidak
dapat menunggu lama-lama untuk memperoleh mas kawin yang berupa kerang dan
babi.
Hak
atas tanah dan orang besar.
Dalam lingkungan
domestic orang besar pertama-tama sekali harus menjamin istri dan anak-anak.
Seperti juga setiap lelaki dewasa, ia mempunyai tanah pribadi yang
memungkinkannya member jaminan itu. Luasnya tanah seseorang tergantung pada
jumlah istri dan anak anaknya. Kebun dan bidang tanah dibagikan kepada istri
dan anak-anak perempuannya. Anak dari istri yang istimewa mewarisi kebun milik
ibunya maupun saudara-saudara perempuannya. Kebun-kebun itu diurus oleh
istri-istri. Jika diperlukan ada pembagian lagi, yang kelihatannya jarang
terjadi, atau kebun-kebun baru dibuat, kepala keluarga individual melakukan
pembagian secara adil.
Jika sebuah kelompok seketurunan ingin menjual sebagian
tanah, misalnya kepada pihak misi untuk pembangunan sekolah atau gereja, semua
kelompok itu harus member izinnya, meskipun tanah itu “termasuk” miliki
seseorang yang istimewa kedudukannya. Hak menggunakan milik orang lain kemudian
berubah agak bebas di dalam kelompok seketurunan yang disebabkan oleh
pertumbuhan keluarga yang berbeda-beda.orang besar dapat mengambil pimpinan
dalam pembagian baru ini, walaupun semua dimusayawarahkan.
Proses penggunaan dan
pembagian tanah dijelaskan sebagai berikut:
Seorang
ayah membagi habis tanahnya, dibaginya kepada anaknya. Jika dalam masa hidupnya
ia tidak memberikan kepada semua anaknya karena anak tersebut masih terlalu
muda atau alasan lain, maka kewajiban ini jatuh kepada anak lelaki yang sulung
yang akan memberikan kepada adiknya jika dianggap sudah layak untuk memiliki
tanah. Dalam hal ini sebuah kelompok seketurunan lain, yang mempunyai banyak
tanah, ia bisa memberikan sedikit kepada kelompok yang miliknya amat sedikit.
Hal ini dapat dilakukan setelah diadakan banyak pembicaraan dan pembahasan,
yang sebenarnya sangat jarang terjadi. Bagaimanapun juga orang –orang ini harus
menyediakan tanah bagi anak-anaknya sendiri.
Pembagian tanah dan
kebun secara pantas sungguh amat penting. Orang besar sangat terlibat dalam
proses. Hal ini mempengaruhi soal warisan kemudian. Jika seorang perempuan
diabaikan dalam hal ini, akan terluka hatinya, marah dan dendam. Orang besar
tidak menjadi sasaran kemarahan itu seandainya tidak kehilangan dukungan dari
keluarga terdekat, dan bila terjadi ia bisa kehilangan kedudukannya.
Pembagian
dan orang besar.
Fungsi yang sangat
penting pada orang besar adalah
menjalankan pembagian pangan secara adil dan menukarkan barang kelompok
seketurunan yang diwakilinya. Orang besar mempunyai tanggungjawab agar setiap
orang yang menjadi tanggungannya mendapat bagiannya dalam setiap ada pembagian,
walaupun sedikit-sedikit. Orang besar juga bertanggungjawab dalam hal pembagian
kerang, daging babi dan uang yang deiperoleh kelompok sebagai hasil dari
pertukaran. Dalam hal ini orang besar harus aspiratif, memperhatikan keluhan
dan keinginan kelompoknya. Jika orang besar itu tidak melakukan hal yang
seharusnya, maka ia akan kehilangan posisinya yang efektif.
Saya kira saya tidak
perlu menceritakan kasus yang terjadi seperti yang ditulis di dalam buku, yang
penting intinya adalah bahwa pembagian tetap harus dilaksanakan seadil mungkin.
Tetapi jika kelompok itu sudah terlalu besar, maka mereka akan memecah sendiri
menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan sebahagian mengikuti orang besar
tadi, dan sebahagian lagi memilih sendiri orang-orang besarnya yang akan
memimpin mereka. Hal ini dilakukan dengan kesadaran bahwa orang besar yang ada
tidak akan mampu berlaku dengan adil lagi jika jumlah anggotanya sudah terlalu
besar.
Orang-orang
besar sebagai politisi dan pengatur.
Pada hakikatnya orang Mbowamp menerapkan demokrasi
berdasarkan consensus bagi masalah-masalah organisasional. Jika sebuah kejadian
atau keputusan dibicarakan, siapa saja yang berkepentingan dalam hal itu berhak
untuk berdiri dan berbicara. Sifat istimewa orang besar adalah kemampuannya
berbicara lancer dan berwibawa juga meyakinkan. Hal ini tidak dimiliki oleh
sembarang orang. Keputusan yang diambil oleh orang besar niscaya mencerminkan
sifat dan watak anggota kelompok yang hadir. Ia lebih menyimpulkan sebuah
kesepakatan bersama daripada mengumumkan keputusan yang dibuatnya sendiri.
Legitimasi
Orang Besar
Adapun yang melegitimasikan kedudukan dan wewenang
orang besar bukanlah kelahirannya dan sifat-sifatnya yang asli. Yang terutama
menentukan adalah kemampuan pribadinya sendiri yang dapat melegitimasikan kedudukannya, dan yang kedua
adalah sukses yang membuat dirinya diterima sebagai pemimpin. Variabel lain
lebih mengutamakan kekuatan (rondukl).
Bahwa seseorang mempunyai hubungan dengan pengaruh kekuatan jelas karena
suksesnya, dan hal itu terutama memberinya legitimasi.
Orang Mbowamp tidak menggunakan setiap cara dan
teknik guna mendapatkan kedudukan itu dan yang tidak membuatnya hina. Dengan
kata lain, mereka menerima saja ketidaksamaan kedudukan dalam system sosial,
semata-mata karena mereka kekurangan kekuatan yang dipersyaratkan.
Sekali seorang menjadi orang besar, ia menjaga dan memelihara kedudukannya secara
tidak terbatas. Namun ia harus terus menerus menghasilkan prestasi guna
membuktikan bahwa dirinya tetap mempunyai hubungan dengan kekuatan ghaib. Bila ia bertambah tua,jumlah
pertukaran yagn dilakukan akan berkurang, iapun kurang sering berbicara dengan
khalayak, dan orang-orangpun datang mewakili kelompoknya untuk berbincang
secara terbuka. Pengurangan atau penyusutan kedudukan sering terjadi bila
penggantinya adalah saudara lelakinya atau anak lelakinya yang memang sedang
meningkat namanya, ada kemungkinan kelompoknya terpecah menjadi dua, terutama
jika persyaratan utama mengenai jumlah anggota kelompok dan sumberdaya cukup
untuk menjamin integritas structural kelompok yang baru tumbuh itu.
A. Refleksi
a.
Terutama dalam wacana tentang para
politisi di partai-partai politik. Ada semacam kesan bahwa partai politik tidak
lagi menjadi salah satu agen pembelajaran politik kepada rakyat, tetapi
cenderung murni menjadi media untuk mencapai kekuasaan dengan segala macam
caranya. Para politisi yang berada di dalamanya juga hanya melihat pada
peluang-peluang kekuasaan di dalam tubuh partai, artinya jika ia melihat bahwa
peluang untuk menjadi “sesuatu” di partai tersebut tidak ada, maka ia akan
berpindah partai yang menjanjikan sebuah kedudukan kepadanya. Hal ini bisa
dilakukan karena secara ekonomi, politisi tersebut telah mapan. Kemapanan
itulah yang dijadikan alat untuk dapat mengembara ke sana kemari mencari
peluang-peluang kedudukan. Hal tersebut dapat dilakukan karena partai juga
dapat memanfaatkan kemapanan ekonomi politisinya untuk ikut membesarkan partai
tersebut. Kemungkinan paling pahit adalah politisi tersebut tidak bisa
mendapatkan kedudukan apa-apa pada semua partai yang ia masuki, dan itu tidak
mengancam kondisi kehidupannya dari segi ekonomi. Ini adalah salah satu hal
yang dapat dipetik dari cerita orang besar (big
man) di Dataran Tinggi Nugini.
b.
Dalam urusan persaingan, hal itu digambarkan
dalam kasus Big Man dengan persaingan
antara satu orang dengan orang lain dengan memamerkan kekayaan yang ia miliki.
Dalam kasus tersebut ditandai dengan pertukaran yang dilakukan seseorang dengan
orang lain. Pertukaran yang paling baik dalam kasus itu adalah pertukaran babi
atau kerang dengan seorang perempuan yang bisa dijadikan istri. Pertukaran yang
dilakukan itu dirasa perlu untuk diumumkan atau diketahui oleh orang lain
dengan maksud agar ia dianggap sebagai orang yang lebih mapan secara ekonomi.
Hal itu juga dimaksudkan agar masyarakat mengakuinya sebagai orang yang
memiliki status sosial yang berbeda dengan orang lain.
Saat
ini contoh kasus di atas dapat disamakan dengan kondisi dimana orang-orang yang
saat ini ingin menjadi pemimpin di tingkat manapun, cenderung merasa perlu
untuk menunjukkan / mempublikasikan kekayaannya kepada public. Kasus di Kota
Tebing Tinggi, waktu itu seorang calon walikota menumpuk sembako di halaman
ruko dengan jumlah yang sangat banyak untuk dibagi-bagikan kepada rakyat Tebing
Tinggi. Sebuah publikasi kekayaan yang vulgar sekali, tapi cukup efektif untuk
menghantarkan beliau (Syafri Cap) ke Singgasana Walikota Tebing Tinggi,
walaupun akhirnya harus turun kembali karena persyaratan calon yang tidak sah,
oleh karena isunya ketua KPU juga telah kena “siram” dengan sejumlah materi,
plus memiliki ikatan kekerabatan, maka calon tersebut diluluskan menjadi calon
walikota. Terlihat sekali efektifitas materi untuk membeli suara dalam sebuah
kompetisi politik. Saya kira tidak perlu digali apakah cara itu sebuah
pelanggaran atau tidak, yang jelas realitas politik / perilaku politik
sebahagian besar rakyat kita masih memberhalakan materi dalam segala urusannya.
Idealisme hanya sebuah angan-angan indah yang Cuma bisa dihidupkan di dalam
kepala orang, dan harus mati ketika harus berhadapan dengan yang namanya
materi.
Beberapa
fenomena yang terjadi di beberapa kelompok keluarga saat ini juga menunjukkan
hal yang sama. Kepemilikan atas materi yang banyak juga dianggap menjadi simbol
atas kekuasaannya memberikan keputusan bagi kelompok keluarga tersebut, apalagi
ia memiliki kemampuan retorika yang mumpuni. Materi tadi dianggap menjadi bukti
atas apa yang ia utarakan di dalam sebuah musyawarah keluarga. Secara tidak
sadar, materi tadi telah membungkam mulut anggota keluarga yang lain untuk
berseberangan dengannya. Dalam kasus ini, anggota keluarga yang memiliki banyak
materi dan dipergunakan juga untuk memebantu anggota kelompok keluarga yang
lain menjadi alasan yang kuat bagi pemilik materi tadi untuk memegang kekuasaan
atas kelompok keluarga tersebut. Kalaupun
misalnya seorang anggota keluarga berbeda pendapat dengan anggota
keluarga yang memiliki banyak materi tadi, dan ingin membantahnya, maka ia
cenderung menyimpannya saja di dalam hati daripada terkesan membantah, yang
menurut fikirannya akan berujung pada tidak mendapat bantuan atau suntikan dana
seperti yang berjalan sebelumnya.
Beberapa
yang diucapkan masyarakat tanpa dasar yang jelas, bahwa jika seorang pemimpin
itu adalah seorang yang kaya, maka ia tidak akan berfikir untuk melakukan
korupsi. Dalam hal ini kepemilikan atas materi juga dijadikan sebagai sebuah
alat kejujuran.
c.
Dari nilai-nilai orang Mbowamp yang
diceritakan di atas dapat kita jadikan cermin untuk melihat kondisi bangsa ini
sekarang. Diceritakan bahwa salah satu nilai yang dikembangkan oleh orang
Mbowap itu dalam menjaga keharmonisan sosial adalah dengan menjaga hubungan
baik dengan orang lain, walaupun ada keinginan kuat dari dalam dirinya untuk
bersikap individualistic dan bebas. Saat ini kondisi di atas cenderung
terbalik. Saat ini keharmonisan sosial seperti sesuatu yang terabaikan dan
tidak terlalu diperhitungkan. Keinginan kuat untuk berlaku individualistic dan
memperkaya diri sendiri seperti sedang dikompetisikan dan dipentaskan, tanpa
memperhitungkan dampak dari prilakunya yang boleh jadi akan mengkonstruksi
ketidakpercayaan public pada pemerintah. Nilai-nilai kebersamaan dan pengakuan
atas kesamaan hak seolah hanya nilai-nilai yang harus hidup pada orang-orang
bawah yang tidak memiliki akses apapun untuk berprilaku yang sama. Di dalam
nilai – nilai orang Mbowamp juga diterangkan bahwa tidak ada seorangpun yang
memiliki otoritas terhadap orang lain. Hari ini otoritas atas orang lain
terjadi dengan sangat vulgar. Sebagai contoh, di zaman yang untuk sementara ini
kita sebut sudah maju, ternyata praktek yang identik / sama dengan perbudakan
juga masih terjadi. Penguasaan atas orang lain sampai menyentuh ranah
psikologi, sehingga memunculkan ketakutan jika memiliki niat untuk melawan.
Moralitas yang saat ini juga sudah semakin memilukan, pengraupan uang rakyat
dan negara tanpa merasa berdosa dan memikirkan kesejahteraan rakyat kecil
sebagai salah satu bukti konkrit atas demoralisasi itu. Konsep kesetaraan
(egaliter) hanya dijadikan sebuah istilah yang dibicara-bicarakan tanpa ada niat
untuk mengejawantahkannya. Dengan pongahnya beberapa anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) berbicara tentang konsep pembangunan rakyat, tetapi tidak pernah
turun melihat kondisi daerah dan rakyat yang telah mengangkatnya ke kursi DPR
tersebut. Keharmonisan sosial buat saya adalah hal yang terpenting dalam proses
sosial. Saya mengistilahkan seorang anggota DPR yang dipilih dari suatu daerah
pemilihan tertentu sebagai “orang besar” (Big
Man). Keharmonisan sosial dan kesetaraan bagi Big Man itu seharusnya tidak membedakan tutur bahasa dengan
masyarakatnya, tidak membuat kesenjangan dengan masyarakatnya dari pakaian yang
ia gunakan, tidak selalu berprilaku seolah-olah ia bukan lagi bagian dari
masyarakat itu, melainkan sudah berbeda, tidak bersosialisasi dengan
bahasa-bahasa yang tidak dimengerti rakyat dengan tujuan hanya mendapatkan
pengakuan sebagai orang yang pantas menjadi Big
Man atau DPR itu, dan banyak lagi yang lainnya.
d.
Tentang hak atas tanah, terlihat bahwa
ada sebuah tanggungjawab besar dari orang tua untuk memberikan warisan kepada
anak-anaknya. Memang hal ini adalah lumrah dan juga terjadi pada saat sekarang
ini. Tetapi apa yang ditunjukkan di atas adalah tanggungjawab yang turun
temurun, misalnya ketika ayah tidak bisa memberikan tanah kepada salah satu
anaknya, maka kewajiban itu jatuh pada anak sulungnya. Beberapa kasus yang
terjadi saat ini adalah bagaimana agar tanah yang diwariskan dari orang tuanya
bisa jatuh kepadanya dalam porsi atau jumlah yang paling besar. Tidak jarang juga
terjadi perselisihan dan konflik, bahkan lebih jauh lagi harus kontak fisik
antara sesama anggota keluarga disebabkan permasalahan tanah. Keluarga ayah
saya juga mengalamai hal yang sama. Dengan karakternya yang keras, anak sulung
dari kakek saya mendapatkan warisan yang jauh lebih luas dibandingkan
adik-adiknya tanpa ada protes dari saudara-saudaranya dikarenakan menghindarkan
konflik dan kekerasan. Keluarga Pardede di Medan juga mengalami hal yang sama.
Dalam hal ini mungkin ada banyak lagi kasus-kasus serupa yang terjadi yang
tidak sempat terpublikasi.
Pada
masyarakat Hagen Tradisional di atas juga diceritakan bagaimana satu kelompok
dapat membagikan tanahnya kepada kelompok yang hanya memiliki sedikit tanah.
Clifford Geertz sempat menjelaskan tentang konsep shared poverty dalam bukunya yang berjudul Involusi Pertanian.
Dijelaskan di dalam buku itu bagaiamana sebuah kemiskinan yang dibagi-bagi pada
masyarakat. Kesetaraan yang dibangun pada masyarakat itu tetap dijaga demi
harmonisnya kehidupan di desa mereka. Pesta-pesta yang diadakan oleh seseorang
di desa itu walaupun orang itu adalah orang yang tidak mampu selalu mendapatkan
bantuan dari orang lain, kelak hal yang sama juga akan dialami oleh orang-orang
lain yang berada di desa tersebut, sehingga yang terjadi adalah bahwa setiap
orang di desa yang diceritakan Geertz itu merasa bahwa kondisi kemiskinan yang
dirasakannya juga dialamai oleh orang lain, dan saling bahu membahu mengatasi
kemiskinan mereka.