Potensi Pariwisata
ditinjau dari perspektif sex
Undang-undang No 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. (Salah satu tujuan
penyelenggaraan kepariwisataan adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, juga memperluas
dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta mendorong
pembangunan daerah). Untuk itu sudah selayaknya pariwisata dapat dijadikan
alternative penggerak perekonomian hingga sedemikian rupa menjadi sumber pendapatan
bagi setiap daerah yang memiliki potensi untuk menyelenggarakannya, dalam upaya
memperoleh atau meningkatkan pendapatan daerah.
Proses
pembangunan pariwisata harus berjalan seiring dengan peningkatan “sadar wisata”
masyarakat. Tugas aparat pemerintah adalah untuk menciptakan kondisi yang
memungkinkan terciptanya peran serta masyarakat dengan cara-cara yang mudah
difahami dan dilaksanakan oleh masyarakat. Sadar wisata dikalangan masyarakat tidak
tumbuh dengan sendirinya, masyarakat lebih mudah memahami apa yang mereka
lihat, apa yang mereka rasakan. Pembangunan pariwisata yang manfaatnya langsung
dapat dirasakan oleh masyarakat akan menciptakan iklim yang lebih baik bagi
tumbuh dan berkembangnya sadar wisata di kalangan masyarakat.
Wacana tentang pariwisata seringkali menjadi
perbincangan yang tak habis-habisnya di Negara tercinta Indonesia ini. Potensi
pariwisata itu dilihat tentunya pertama sekali dari potensi sumber daya
alamnya. Dalam arti kata alam yang ada dianggap memberikan daya tarik tersendiri
bagi pemandangan mata. Memang ada beberapa criteria agar sebuah daerah
pariwisata itu dapat maju dengan baik. Di antaranya adalah, ada matahari (sun), ada pasir (sand), dan seks (sex), di
samping air dan alam. Walaupun begitu, tidak selamanya potensi alam yang baik
itu menjamin sebuah kepariwisataan yang baik pula. Hal lain lagi yang sangat
dibutuhkan adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Melalui system pengetahuan yang
ada pada manusia maka manusia akan dapat merubah apa saja sesuai dengan
kemauannya. Singkat kata, budaya manusialah yang menentukan bagaimana alam akan
tercipta. Dalam artian bahwa manusia dapat juga melakukan rekayasa terhadap
alam, dan tidak selamanya alamlah yang menentukan kebudayaan manusia.
Di daerah Sumatera Utara, ada berbagai tempat yang
menjadi daerah pariwisata yang tersebar di beberapa kabupaten. Di antaranya
adalah, Danau Toba di Kabupaten Simalungun, Bukit Lawang di Kabupaten Langkat,
Sipiso-piso di Kabupaten Karo, dan beberapa tempat wisata lain yang lebih kecil
di beberapa daerah perkotaan. Daerah- daerah pariwisata ini dalam pandangan
pemerintah merupakan sebuah potensi untuk menambah devisa Negara. Untuk itulah
pemerintah seharusnya juga memberikan perhatian yang serius terhadap
daerah-daerah pariwisata ini, tidak hanya sekedar konsen pada urusan pemasukan
atau retribusi yang dapat dihasilkan dari daerah tersebut. Melalui Dinas
Pariwisata sebagai perwakilan pemerintah yang paling berkompeten mengurusi
permasalahan ini, tentu harus memiliki berbagai program kerja yang dapat meningkatkan
lagi potensi-potensi pariwisata yang ada di seluruh Indonesia ini. Salah satu
yang paling dekat adalah Bukit Lawang yang terletak di Kabupaten Langkat.
Meninjau
daerah Bukit Lawang
Wisata bukit Lawang menjadi tujuan wisata andalan di
Leuser dikarenakan memiliki daya tarik swasta langka Orang Utan Sumatera semi
liar dan panorama hutan hujan tropis. Bukit Lawang atau lebih dikenal sebagai
pusat pengamatan Orangutan Sumatera memiliki luas 200ha, berada di Desa
Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera
Utara. Dulunya Bukit Lawang merupakan pusat rehabilitasi Orangutan di Bukit
Lawang berawal dari program yang dijalankan oleh WWF dan Frankfurd Zoological
Society pada tahun 1973.
Saat itu sebagai perintis yaitu Regina Frey dan Monica
Borner melihat bahwa kondisi dan situasi Bukit Lawang sesuai untuk dijadikan
pusat rehabilitasi orangutan. Pada awalnya pusat rehabilitasi ini hanya
dikunjungi oleh para peneliti maupun para konservasionis. Pada perkembangannya
kemudian, daerah ini berkembang menjadi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera dan
menjadi salah satu obyek wisata andalan di Sumatera Utara yang ramai dikunjungi
wisatawan nusantara dan mancanegara. Tercatat sejak tahun 1972 hingga 2001,
bukit lawang merupakan tempat rehabilitasi Orangutan. Dalam kurun waktu ini,
229 orangutan bekas peliharaan yang disita dari perdagangan swasta sudah
direhabilitasi di lokasi ini. Bukit Lawang hingga kini diakui sebagai pintu
gerbang terbaik untuk menikmati keindahan Taman Nasional Gunung Leuser yang
mempesona. Walaupun bukan lagi sebagai tempat rehabilitasi dan pelpasliaran
Orangutan, hutan di sekitar kawasan Bukit Lawang masih menyisakan peluang untuk
dilakukannya aktivitas wisata dan pengamatan Orangutan Sumatera dan juga
spesies tumbuhan dan satwa lainnya.
Pondok-pondok wisata bernuansa alami dengan tarif
bervariasi ntara Rp. 100.000 s/d Rp. 500.000 per malam. Fasilitas wisata
lainnya yang tersedia berupa restoran / rumah makan, areal camping ground,
viewing centre, information corner, visitor centre, terminal, pintu gerbang
kawasan, jalan setapak/trail, papan informasi, feeding site dan sampan
penyeberangan menuju kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan ini telah
menjadi daerah tujuan wisata hutan hujan tropis yang cukup dikenal di
mancanegara.
Suhu Udara rata-rata 21,1°C – 27,5°C. Kelembaban nisbi
80 - 100%. Musim hujan merata sepanjang tahun tanpa musim kering yang berarti
dengan curah hujan rata-rata 2000 – 3200 mm per tahun. Topografi kawasan,
landai dan perbukitan dengan kemiringan bervariasi (45 - 90%). Memiliki tipe
ekosistem dataran rendah dan bergelombang¹.
Daerah Bukit Lawang terdapat sebuah sungai yang
memanjang dari hulu sungai yang diapit oleh hutan-hutan di kiri dan kanannya.
Suasana hutan dengan pepohonan yang rindang itu menjadi sebuah daya tarik
tersendiri bagi bukit lawang sebagai sebuah tawaran bagi para turis-turis baik
local maupun manca Negara untuk dating ke sana. Di samping itu, dalam rimbunnya
pepohonan hutan itu terdapat juga hewan-hewan monyet atau orang hutan yang
dilindungi oleh beberapa lembaga yang konsen dengan urusan orang hutan. Hal itu
menjadi tambahan terhadap daya tarik wisatawan untuk dating ke bukit lawang.
Pada dasarnya memang yang menjadi modal utama kepariwisataan bukit lawang
adalah sungai ada di sana. Dengan batu-batuan yang ada di sepanjang sungai itu
maka dijadikanlah menjadi sebuah tempat selain untuk mandi-mandi para wisatawan
dengan keluarganya, juga dimanfaatkan oleh orang-orang setempat untuk membuat
perahu-perahu karet sebagai sampan yang dapat digunakan wisatawan mengarungi
sungai yang terkesan menantang itu. Kalau saya boleh mengistilahkannya, maka ia
dinamakan dengan ‘arung jeram mini’.
Menurut beberapa informan yang saya
wawancarai, sungai yang digunakan oleh para wisatawan itu dahulunya (pra banjir
bandang) yang terjadi beberapa tahun yang lalu memiliki lebar yang kurang dari
sekarang. Artinya sungai yang ada saat ini lebih lebar dari yang sebelumnya.
Menurut saya ini adalah salah satu bentuk rekayasa manusia terhadap alam.
Pelebaran itu dilakukan dengan tujuan agar sungai yang ada itu dapat diatur
sesuai dengan kepentingannya. Pada bagian-bagian tertentu, terlihat air sungai
itu mengalir lebih deras dibandingkan dengan bagian sungai yang lain. Ini
dimaksudkan pada bagian sungai yang deras itu dapat digunakan oleh para
pengarung jeram mini untuk menikmati arung jeramnya. Sedangkan pada bagian
sungai yang tidak begitu deras, dapat digunakan oleh para wisatawan untuk
mandi-mandi atau menikmati air bersama dengan keluarganya, baik itu anak-anak
atau para perempuan tanpa khawatir akan hanyut terbawa air sungai.
b. Meninjau Ekonomi Rakyat.
Mata pencaharian masyarakat di Bukit Lawang umumnya
adalah petani dan Pedagang. Selain itu banyak lagi usaha-usaha yang mereka
ciptakan sendiri seperti pemandu wisata lokal untuk pengunjung yang membutuhkan
pemandu selama melakukan petualangan di Taman Nasional Gunung Leuser. Selain
itu ada juga pondok-pondok penginapan di bukit lawang yang menyediakan pilihan
paket-paket wisata yang menarik dengan harga terjangkau.
Sejauh mata memandang, seluruh daerah pariwisata bukit
lawang itu tidak lepas dari obyek-obyek yang dimanfaatkan rakyat untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi (economic
benefit). Dimulai dari kedatangan ke bukit lawang, di sana akan ditemukan
kutipan (retribusi) bagi para pengunjung yang masuk ke wilayah pariwisata. Hal
itu dapat penulis maklumi sebagai bagian dari pendapatan daerah setempat.
Masalah berikutnya adalah kutipan yang dilakukan warga setempat berupa kutipan
parkir Rp 10.000 bagi sepeda motor, dan Rp 20.000 bagi mobll. Jumlah kutipan
itu sebenarnya telah dikeluhkan oleh para pengunjung dan juga oleh para
pedagang setempat. Keberatan para pedagang dengan kutipan itu disebabkan karena
jumlah pengunjung dirasakan mereka semakin jauh menurun dibandingkan dengan
pengunjung pada saat belum ada kutipan parker itu.
Di sepanjang perjalanan menuju pantai terlihat para
pedagang dengan masing-masing jenis dagangannya. Mulai dari dagangan pakaian,
makanan, sampai para pencari rezeki berupa permainan judi bola kecil yang digelar
di beberapa tempat. Tidak berhenti di situ, warga setempat juga membuat
ruang-ruang ganti pakaian dan pengguna harus membayarnya. Begitu juga di
pinggiran pantai para penduduk mendirikan gubuk-gubuk kecil tempat para
pengunjung berteduh sambil menikmati air sungai. Selain itu tikar juga mereka
sediakan dengan membayar sejumlah rupiah bagi para pengunjung yang tidak
membawa tikar sendiri. Bahkan untuk jembatan penyeberangan dari sisi pantai
yang satu ke sisi pantai yang lain juga dibuat warga setempat, dimana bagi para
pengunjung yang akan menyeberang melalui jembatan itu juga harus membayar.
Kesempatan-kesempatan untuk menggali
pendapatan ekonomi yang dibuat masyarakat seolah membutakan mata mereka akan
keindahan dan nilai-nilai budaya yang sebenarnya merupakan factor yang cukup
penting dalam merekrut para tourist untuk datang ke daerah tersebut. Dari sisi
keindahan sebuah daerah wisata tentu pemandangan yang dibuat oleh warga dengan
segala bentuk mata pencariannya sangatlah tidak enak dipandang mata. Misalnya
para pemain judi bola kecil yang membuka tempat di jalanan dimana para
pengunjung lewat. Selain hal ini mengganggu kelancaran jalan, juga menjadi
kesan bahwa masyarakat tidak memilki
sense of belonging terhadap kenyamanan daerah wisata setempat.
c. Meninjau
Sosial Budaya Masyarakat.
Bukit lawang yang terletak di Kabupaten Langkat. Budaya di daerah Bukit
Lawang heterogen, tidak ada yang dominan antara suku Melayu, Karo, Jawa dan
Batak. Dalam kajian Kebudayaan Parwisata, diulas tiga hal, yaitu: pertama, wisata budaya sebagai suatu
jenis wisata, kedua, pengaruh wisata
terhadapa kebudayaan. Hal pertama, wisata budaya diartikan sebagai jenis
kegiatan pariwisata yang objeknya adalah kebudayaan. Ini dibedakan dari
minat-minat khusus lain, seperti wisata alam, dan wisata petualang. Namun
demikan tidak berarti bahwa seorang wisatawan tidak bisa memiliki lebih dari
satu program pariwisata. Obyek daya tarik wisata budaya itu dapat berkisar pada,
kesenian (seni rupa dan segala bentuk pertunjukan), upacara adat, demonstrasi
lain yang bersifat kesenian. Hal inilah salah satunya yang tidak ditemui di
bukit lawang.
Mengenai pengaruh wisata atau dampak pariwisata di suatu daerah
terhadap sosial budaya sangat terasa, apalagi daerah tersebut menerima pengaruh
dengan cepat tanpa ada penyaringan yang ketat terhadap kedatangan wisatawan.
Salah satu hal adalah dimana daerah yang dituju merupakan daerah yang lemah
dalam bidang ekonomi, dengan sendirinya akan mengikuti perkembangan dan merubah
tatanan perekonomian sendiri. Salah satu contoh mengubah mata pencaharian semula
yang mereka lakukan secara tradisional menjadi lebih modern.
Masalah tentang dampak pariwisata terhadap sosial budaya selama ini
cenderung mangasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial budaya akibat
kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi umum, yaitu:
a.
Perubahan dibawa
sebagai akibat adanya pengaruh dari luar, umumnya dari sistem sosial budaya
yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
b.
Perubahan
tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
c.
Perubahan
tersebut akan membawa pada hegemonisasi budaya, dimana identitas etnik lokal
akan tenggelam dalam bayangan sistem industry dengan teknologi barat, birokrasi
nasional dan multinasional, a
consumer-oriented economy, dan jet-age
lifestyles.
Menurut
pendapat di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak pariwisata terhadap
sosial budaya masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor
luar yang akan merubah secara pasti terhadap sosial budaya pada masyarakat
lokal.
Asumsi di atas tidak terlihat dalam kasus bukit
lawang. Bukit lawang sebagai salah satu tempat wisata tidak menunjukkan satu
warna budaya tersendiri yang menjadi penarik bagi kedatangan para turis ke
sana. walaupun dalam keterangan di atas disebutkan bahwa daerah bukit lawang
tidak didominasi oleh salah satu etnis tertentu, tetap saja tidak terlihat
salah satu cultural permormance yang
ditampilkan dalam arena wisata tersebut. Keseluruhannya berbaur dalam sebuah
“budaya umum” yang biasa ada dalam arena wisata.
Dengan demikian jika kita berbicara tentang sebuah
perubahan yang diakibatkan oleh wisatawan, maka bukit lawang dalam hal ini
masih sangat kecil kemungkinannya mengalami perubahan. Wisatawan mancanegara
yang berada di bukit lawang juga dalam observasi penulis tidak begitu besar jumlahnya
dibandingkan dengan daerah wisata yang lain seperti Danau Toba. Dengan jumlah
yang tidak banyak itu, maka dapat diasumsikan bahwa dampak yang ditimbulkan
juga tidak begitu besar bahkan tidak terlihat sama sekali. Yang terlihat
dilapangan hanyalah para wisatawan yang mencoba melebur dengan kebiasaan dan
budaya yang ada di daerah tersebut.
Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan pariwisata dimanapun tempatnya akan menimbulkan sebuah proses
akulturasi dengan dampak terjadinya perubahan nilai-nilai budaya dan akan
berpengaruh pula pada perilaku-perilaku individu dalam masyarakat sekitar.
Terutama bagi masyarakat sekitar yang yang sering dan mengalami kontak langsung
dengan para wisatawan.
Pariwisata yang menekankan pendekatan ekonomi cenderung
memberikan peranan utama pada pemerintah atau pemilik modal, dan tujuannya juga
ditentukan dan terutama untuk kepentingan mereka. Peranan masyarakat sangat
rendah sehingga mereka cenderung sangat patuh dan tidak punya inisiatif karena
lebih ditempatkan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Sebagai akibatnya,
adat istiadat, nilai-nilai, norma-norma, menjadi semakin terkikis.
Ritual-ritual suci semakin dangkal dan pertunjukan-pertunjukan seni menjadi
semakin tidak berjiwa. Masyarakat menjadi apatis dan kesejahteraan merekapun
tidak begitu meningkat. Pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan)
setempat, harus disadari bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal
terdiferensiasi, aktif dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang
kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah
‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat
mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau
apa yang disebut sebagai ‘turistifikasi’ (touristifacation)².
PEMBAHASAN
Meninjau “
Sex “ sebagai potensi Pariwisata.
Dengan
Ramainya para wisatawan baik mancanegara ataupun wisatawan lokal yang datang
dengan motivasi sendiri-sendiri tentu akan menjadikan masyarakat bukit lawang
terus mencari celah dalam rangka mendapatkan keuntungan ekonomi. Selain dari
para pedagang kuliner, pakaian dan lain-lain, turut juga hal-hal yang berbau
sex menjadi salah satu potensi perekrutan ekonomi tersebut.
Sepanjang
observasi yang penulis lakukan di lapangan terlihat bahwa norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku cenderung hanya berorientasi pada keamanan para
pengunjung. Hal-hal lain seperti perilaku pacaran dan seks tidak menjadi
sesuatu yang sangat diatur di daerah wisata tersebut. Ini menjadi salah satu
peluang bagi masyarakat untuk memberikan pelayanan yang baik kepada para
wisatawan yang membutuhkan kepuasan seks. Selain tempat-tempat bagi para
pasangan yang ingin melampiaskan kebutuhan biologisnya, juga disediakan
pelayanan seks bagi orang-orang yang butuh dan tidak membawa pasangannya.
Kebebasan
berperilaku dalam hal-hal tertentu itu nampak adanya sikap tak perduli terhadap
kepentingan masyarakat yang lain. Seperti adanya hotel-hotel atau tempat-tempat
menginap dengan segala fasilitasnya dan munculnya para pramunikmat yang siap
melayani para tamu yang menginap. Sikap yang tidak perduli itu tidak terlalu
diperhatikan oleh masyarakat kawasan wisata bukit lawang. Sehingga seakan-akan
dari sikap tak perduli itu menumbuhkan sikap individu-individu yang hanya
mementingkan kebutuhan pribadi. Hal ini penulis lihat dari para warga setempat
yang hampir seluruhnya mengerahkan kemampuannya untuk melakukan sesuatu yang
orientasinya adalah ekonomi. Termasuklah dalam hal ini menjadi pelayan bagi
kepuasan seks para wisatawan. Masyarakat sekitar cukup mengetahui siapa-siapa
dari anggota masyarakatnya yang berprofesi sebagai pramunikmat, dan dengan
pengetahuan itu mereka hanya dapat memaklumi saja profesi tersebut sebagai
dampak dari lingkungan pariwisata. Terlebih-lebih menggunjingnya, itu jarang
sekali bahkan tidak akan mereka lakukan, dengan fikiran bahwa setiap orang
memiliki haknya sendiri untuk memilih jalan mana yang akan ia tempuh dalam
mencari keuntungan ekonomi. Hanya saja dampak positif yang dapat penulis
sampaikan di sini adalah bahwa dengan lingkungan wisata yang mereka hadapi
setiap harinya itu justru kan mendorong mereka untuk bekerja lebih keras dalam
memperbaiki standar hidupnya. Sedangkan dampak negatifnya selain perubahan
perilaku ke arah yang negatif juga akan memunculkan kecemburuan sosial yang
dinyatakan dengan tingkat kemewahan para wisatawan di tengah-tengah kemiskinan
penduduk lokal, dan tentu kondisi ini dapat merangsang timbulnya tindak
kejahatan.
Di
beberapa tempat daerah pariwisata bukit lawang tersebut terdapat banyak
penginapan-penginapan dengan harga yang beragam. Letaknya juga berpengaruh
terhadap harganya. Seorang kasir sebuah penginapan yang menjadi salah satu
informan penulis mengatakan bahwa, di penginapannya itu tidak dilarang membawa
pasangan (baca:pacar) untuk menginap di sana. Walaupun di penginapan tersebut
tidak menyediakan para wanita yang siap melayani pengunjung yang akan menginap
di tempat itu. Walaupun demikian jika pengunjung memang berniat untuk mencari
pasangan yang akan menemaninya di penginapan, pemilik penginapan mampu
mencarikan wanita yang siap untuk itu. Di tempat penginapan yang penulis
observasi, terdapat tempat bersantai orang-orang yang penulis lihat saling
berpasangan. Penulis berasumsi bahwa mereka adalah para pemesan kamar yang
sedang bersantai di luar penginapan. Berdasarkan letak penginapan tersebut,
yang terletak agak menjorok ke dalam dari jalan tempat orang-orang lewat,
penulis menyimpulkan bahwa memang para pengunjung yang datang ke penginapan itu
adalah pengunjung yang memang mencari tempat untuk dapat melampiaskan
“kepuasan”.
Selain
itu untuk para wisatawan mancanegara, mereka memiliki tempat penginapan
tersendiri yang terletak di sebelah utara dari sungai. Di sana para turis
mancanegara banyak yang menginap dengan penginapan yang terlihat agak sedikit
lebih berkelas dari tampilannya. Di areal penginapan mereka juga terlihat para
warga pribumi yang tinggal bersama-sama dengan mereka. Apakah itu guide mereka atau pacar mereka, yang
jelas pembauran terjadi antara pribumi dan para wisatawan mancanegara. Suasana
akrab mereka tampilkan dalam pergaulan mereka, terlihat dari saling tertawa
yang mereka tampilkan dan terkadang bersentuhan tangan, membuat semua orang
yang melihatnya akan menafsirkan perilaku itu sebagai sesuatu yang sudah sangat
intim.
Sebuah
tulisan tentang Konfrensi Asia Tenggara menentang Pariwisata Seks Anak
menuliskan bahwa di seluruh dunia menurut catatan dari World Tourism
Organization (WTO) lebih dari satu juta anak dilibatkan dalam kegiatan prostitusi
dalam lingkup industri pariwisata. Bahkan menurut badan ini bahwa saat ini
kondisi anak-anak yang dilibatkan dalam industri turisme sudah sangat dramatis
dan ironis, karena dari tahun ke tahun pemanfaatan prostitusi anak dalam industry
pariwisata ini mengalami peningkatan. Namun sayang masalah ini belum menjadi
perhatian para penyelenggara bisnis pariwisata baik itu sektor pemerintah
maupun swasta karena khawatir akan berdampak pada berkurangnya kunjungan
wisatawan³.
Di
lokasi bukit lawang para pelayan seks tidak hanya terdiri dari wanita tetapi
ada juga para pria yang siap menjadi pelayan seks bagi para wisatawan, terutama
wisatawan mancanegara. Hal itu terungkap dari salah seorang informan yang tidak
mau menyebutkan ciri-ciri pria yang siap menjadi pelayan sex para wisatawan. Dengan
lain kata lokasi pariwisata adalah lokasi dimana para wisatawan bebas
mengekspresikan kesenangannya selama itu tidak menyalahi norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku khusus pada lokasi wisata itu. Terkait dengan seks,
Bukit Lawang tidak memberikan aturan-aturan khusus perihal seks, artinya tidak
ada aturan-aturan tertulis yang mengatur tentang seks di bukit lawang itu.
Semua wisatawan yang ada di sana seperti telah mengetahui bahwa jika ingin
menyalurkan hasrat seksnya bisa saja membawa pasangannya ke beberapa penginapan
yang ada di lokasi, atau mencari pasangan dari para pramunikmat yang ada di
lokasi. Seorang informan sebut saja namanya Tono, seorang pedagang rokok yang
ada di bukit lawang. Sambil penulis membeli sebungkus rokok kepadanya, penulis
sempat menanyakan tentang wanita-wanita pelayan seks (pramunikmat). Tono
mengatakan bahwa dari penampilannya memang agak sulit untuk mengidentifikasi
yang mana yang mana wanita-wanita itu. Mereka lebih bisa diketahui karena
hubungan-hubungan yang mereka bina dengan para warga setempat dan beberapa
pedagang yang ada di lokasi tersebut. Identitas para pramunikmat itu tidak
terlalu perlu ditunjukkan pada para pengunjung lokasi wisata. Jenkins (2004)
mengatakan bahwa identitas itu merupakan soal mengetahui seseorang itu sebagai
siapa (yang mana tanpa demikian kita tidak akan dapat mengetahui sesuatu itu
sebagai siapa dan apa). Tetapi dalam hal ini, identitas sebagai pramunikmat
tetap saja masih memiliki kesan yang negative pada masyarakat setempat walaupun
masing-masing anggota masyarakat tidak menjadikan itu sebagai masalah dan
menghargai keputusan masing-masing individu atas pilihannya. Untuk itulah
pernyataan Jenkins di atas memang sangat penting bagi para pengunjung agar
mereka dapat mengetahui siapa sebagai apa di arena sosial tersebut. Hanya saja
seperti dikatakan di atas, identitas itu tidak hanya dapat diketahui dengan
symbol-simbol yang tampak, tetapi juga dapat diketahui melalui sebuah dari
hubungan-hubungan sosial yang ada. Selanjutnya Tono mengatakan bahwa menurutnya
kebebasan adalah hal terpenting bagi sebuah daerah wisata seperti bukit lawang,
karena tanpa itu para pengunjung justru tidak akan merasa leluasa di tempat
rekreasi itu.
Beberapa pertanyaan dapat diajukan di sini. Apakah
kebebasan itu dan kenapa ia harus dihargai? Apakah kebebasan itu merupakan
sesuatu yang telah lama tertanam dalam watak manusia, atau apakah ia merupakan
hasil dari suatu situasi khusus? Apakah ia diinginkan sebagai tujuan akhir atau
sebagai alat untuk mencapai hal-hal lain? Apakah kalau orang memilikinya ia
harus mempertanggungjawabkannya, dana apakah pertanggungjawaban ini demikian
memberatkan, sehingga sebagian besar orang siap untuk melepaskannya agar
mendapatkan keringanan yang lebih besar? Apakah perjuangan untuk kebebasan itu
demikian beratnya sehingga kebanyakan orang gampang sekali berpaling dari upaya
untuk mencapaii dan mempertahankannya? Apakah kebabasan itu sendiri dan hal-hal
ditimbulkanya sama pentingnya dengan keselamatan hidup, seperti makan, tempat
berteduh, pakaian atau bersenang-senang? Apakah manusia memberikan perhatian
kepada kebebasan ini sama banyaknya dengan perhatian yang diajarkan kepada kita
di negeri ini? (Dewey, 1988).
Sebentuk
pertanyaan di atas mengatakan bahwa kebebasan dalam arti yang sesungguhnya
tidaklah menjadikan segala sesuatu dibenarkan (permissif), tetapi bagaimana menjadikan atau mengelola sebuah
kebebasan itu menjadi satu aturan tidak tertulis yang dapat diinternalisasikan
pada seluruh pengunjung yang ada di lokasi pariwisata. Dengan demikian segala
bentuk kebebasan yang ada dinamakan dengan kebebasan yang terkendali. Terutama
dalam hal ini adalah seks sebagai sesuatu yang menjadi daya tarik tersendiri
bagi para pengunjung lokasi wisata.
Terakhir yang perlu djelaskan disini adalah bahwa
aktivitas seks yang terjadi di bukit lawang cenderung dikemas oleh berbagai
bentuk kemasan, seperti rumah inap dan ada juga pijat tradisional, yang menurut
beberapa informan juga menjadi salah satu tempat prostitusi bagi para
wisatawan. Kemasan-kemasan itu lebih pada menjaga pada tidak terlalu fulgarnya
praktek prostitusi itu pada lokasi wisata tersebut. Dalam observasi penulis,
bahwa stimulus terhadap bangkitnya gairah seksual itu juga dapat terjadi dari beberapa
pemandangan yang ditampilkan oleh para pengunjung yang dating ke sana. Sebagai
contoh, para pengunjung yang berbusana semi terbuka di beberapa pinggiran
sungai, para wisatawan mancanegara dengan pakaiannya yang relative terbuka,
sehingga beberapa mata menjadi tertarik untuk melihatnya. Hal tersebut sedikit
banyak menjadi salah satu factor penyebab beberapa orang terangsang
(terstimulasi) gairahnya untuk mengarah kepada hal-hal yang berbau seksual.
Kesimpulan.
1.
Untuk memberantas
masalah pariwisata seks anak ini tidak cukup bila hanya dilakukan oleh satu
Negara saja, karena child sex tourism ternyata melibatkan banyak Negara. Di
samping kompleksitas masalah ini juga melibatkan sektor pariwisata yang di
dalamnya ada para pelaku pariwisata yang umumnya adalah berasal dari kalangan
privat atau bisnis. Di samping itu kerjasama regional dan internasional perlu
dikembangkan untuk memberantas masalah pariwisata seks anak di kawasan asia
tenggara. Kerjasama ini bukan saja dilakukan oleh organisasi pemerintah saja,
tetapi juga organisasi non pemerintah, organisasi internasional dan sektor swasta.
2.
Memperhatikan
kondisi bukit lawang maka beberapa pertanyaan di atas dapat menjadi salah satu
pemikiran tersendiri bagi para Stakeholders
dalam menata kebebasan di lokasi wisata itu dengan tujuan menjadikan daerah itu
sebagai sebuah devisa daerah yang tetap terjada dan tidak melupakan adat
istiadat dan menjadikan budaya setempat sebagai sebuah komoditi positif yang
menjadi nilai jual tersendiri bagi para wisatawan yang berkinjung ke daerah
itu. Artinya ada warna tersendiri yang dijual oleh bukit lawang sebagai
katalisator penunjang bangkitnya produk wisata yang ada di bukit lawang.
Sebagai contoh seni pertunjukan yang mengikutsertakan para wisatawan
berpartisipasi di dalamnya adalah sebuah daya tarik tersendiri yang cukup
efektif untuk membuat para wisatawan sangat menikmati liburannya di lokasi itu.
Apalagi daerah bukit lawang yang terdiri dari beberapa etnis yang berdomisili
di sana.
Hendaknya masing-masing kelompok etnis yang ada di
daerah itu dapat memberikan kontribusi tersendiri bagi majunya perpariwisataan
di bukit lawang. Sebagai contoh kelompok etnis Jawa dapat memberikan
penampilan-penampilan yang bernuansa Jawa seperti seni-seninya yang
dipertontokan di tempat umum, dan seperti yang dijelaskan di atas, para
wisatawan jika bisa turut juga ikut berpartisipasi di dalamnya. Begitu juga
dengan etnis yang lain, Karo, Simalungun atau yang lainnya juga dapat melakukan
hal yang sama, sehingga bukit lawang menjadi sangat berwarna dan menarik dengan
ciri-ciri heterogenitasnya.
Walaupun demikian, semua hal yang dilakukan di atas
tanpa menafikan seks sebagai salah satu daya tarik tersendiri bagi bukit
lawang. Yang terpenting adalah bagaimana mengemas “seputar seks” itu sebagai
sesuatu yang tidak vulgar tetapi hidup di dalamnya. Dengan demikian, hidupnya
aktifitas seksual di daerah itu tidak menghancurkan nilai-nilai ketimuran dan
tetap menjadi alternatif saja bagi para wisatawan yang tertarik dengan komoditi
itu.
3.
Dalam pergumulan
warga mencari perekonomian di lokasi wisata tersebut terdapat aturan-aturan
yang berlaku bagi seluruh pengunjung di bukit lawang. Aturan-aturan tersebut
merupakan aturan tidak tertulis, seperti tidak mengganggu dan menjelekkan para
pencari ekonomi yang lain. Adalah sebuah hak personal bagi warga untuk
melakukan apa saja yang dianggap bisa menghasilkan ekonomi/pendapatan baginya,
termasuk menjadi pramunikmat (pelayan hasrat seks para pengunjung), dan
perilaku itu tidak boleh menjadi cemoohan bagi warga yang lain. Hal ini telah
diungkapkan oleh Toni sebagai informan penulis, bahwa seseorang yang mengambil
langkah itu tetap diterima sebagai bagian dari masyarakat/anggota sosial yang
tidak kurang satu apapun dalam rangka bergaul dengan anggota masyarakat yang
lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewey,Jhon, Budaya dan Kebebasan: Ketegangan antara
kebebasan Individu dan Aksi Kolektif, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
1998.
Jenkins, Ricard, Identitas Sosial, Medan, Bina Media
Perintis, 2008.
Internet
¹ www.gununglesuser.or.id/bukit-lawang-92/
² Disparpora-serangkab.com/artikel.Php?wst=5
³ www.pkpa-indonesia.org