"Pak, ayok foto" kata para siswa itu kepadaku. Kebetulan aku merupakan wali kelas mereka. 8 bulan kami udah bersama baru kali itu kami berfoto bersama. Cuaca cukup panas sebenarnya, tapi ya sudahlah aku turuti saja kemauan mereka kali ini, kebetulan kami memang blm pernah berfoto bersama. Setelah berfoto aku sempat menyimpan foto itu di handphone ku.
Di rumah aku sempatkan melihat lihat kembali beberapa foto yang aku simpan, dan aku tertarik dengan foto yang aku tayangkan di atas. Aku pandangi wajah-wajah itu satu persatu, wajah-wajah anak sekolah yang sedang bergaya untuk berfoto. Generasi milenial saat ini memang doyan untuk berfoto-foto, tak seperti generasi "dulu" yang agak susah menemukan fotonya di album-album foto yang sudah di simpan dan penuh debu. Perkembangan teknologi memang menjadi faktor mudahnya anak sekarang mengabadikan dirinya pada setiap moment yang mereka lalui.
Sembari memandangi foto itu satu persatu, aku juga terbayang tingkah polah mereka baik saat belajar atau sedang bermain. Beberapa siswa yang menonjol dalam hal negatif selalu saja menjadi urusan yang membutuhkan waktu khusus untuk menanganinya. Ruang Bimbingan Konseling (BK) menjadi sangat akrab bagi mereka, termasuklah aku sebagai wali kelasnya yang dianggap punya tanggung jawab khusus kepada mereka. Belum lagi persoalan nilai yang mereka torehkan banyak yang di bawah nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Sementara peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan dan kurikulum 2013 menetapkan bahwa siswa yang memiliki nilai di bawah KKM sebanyak 3 mata pelajaran, maka dinyatakan tinggal kelas.
Aku terbayang kalau-kalau beberapa siswaku itu harus tinggal kelas. Buatku pribadi tinggal kelas merupakan hal yang sangat menakutkan, dan karena aku memang tak pernah tinggal kelas selama sekolah. Tapi aku tidak tahu benar apakah perasaan yang sama juga dirasakan oleh para siswa tersebut?
Seringkali nasehat demi nasehat kusampaikan kepada mereka, terutama bagi siswa-siswa yang terindikasi akan tinggal kelas. Bahkan terkadang hampir 1 jam pelajaran aku habiskan untuk menasehati mereka, setelah itu baru masuk pada materi pelajaran. Begitulah kalau statusnya sebagai wali kelas.
Di dalam penilaian raport, ada 3 aspek yang menjadi penilaian seorang guru:
1. Aspek kognitif (Pengetahuan)
Pada aspek ini guru akan menilai siswa berdasarkan pengetahuan mereka, misalnya hafalan, menganalisis, mendeskripsikan, menghitung, membandingkan dan sejenisnya.
2. Aspek psikomotorik (keterampilan)
Pada aspek ini siswa akan dinilai dari keterampilannya mempraktekkan pengetahuan yang ada padanya. Kemampuan praktik ini berbeda-beda pada setiap siswa dan berdasarkan itulah guru memberikan nilainya kepada siswa.
3. Aspek afektif (perilaku/sikap)
Pada aspek ini guru akan menilai bagaimana siswa berperilaku sehari-hari, baik ketika sedang mengikuti proses belajar, maupun sedang bermain di lingkungan sekolah. Aspek ini sebenarnya merupakan hal yang cukup penting bagi guru untuk melihat perkembangan siswanya. Fenomena yang terjadi seringkali kognitif yang baik berbanding lurus dengan afektifnya.
Obyektivitas penilaian sebenarnya harus mempertimbangkan ketiga aspek tersebut. Aspek afektif juga memegang peranan yang tidak kalah penting karena terkait dengan adab. Seorang bijak pernah berkata, adab dahulu baru ilmu. Perkataan itu bermakna bahwa aspek yang paling utama untuk menjadi penilaian adalah afektif, baru kemudian kognitif dan psikomotorik.
Ruang Bimbingan Konseling di setiap sekolah cenderung dikunjungi oleh oleh siswa-siswa bermasalah dari sisi afektifnya, walaupun ada juga persoalan-persoalan lain seperti kognisi yang menjadi persoalan untuk dipecahkan. Inilah salah satu yang membedakan antara sekolah formal dan bimbingan-bimbingan belajar di luar sana. Menurut analisaku, bimbingan-bimbingan belajar tidak terlalu fokus pada persoalan perbaikan perilaku anak didiknya, mereka lebih fokus pada bagaimana memperkuat sisi kognitifnya.
Aku berfikir dan membayangkan siswaku yang sedang berfoto bersamaku, kulihat beberapa siswa yang menurutku sedang tersangkut persoalan nilai-nilai dan perilakunya, artinya jika nilai dan perilaku mereka tidak juga ada perubahan, maka kemungkinan besar mereka akan tinggal kelas dan harus mengulang kembali di kelas yang sama tahun depan. Jika saja itu terjadi maka ada banyak kerugian sebenarnya yang didapat siswa tersebut, diantaranya adalah rugi usia, ekonomi dan kesempatan bekerja di bidang-bidang yang memperhitungkan usia tadi.
Aku sebagai wali kelasnya terus mengingatkan bahwa perbaikan nilai dan afektif hanya bisa dilakukan oleh siswa sendiri, bukan oleh wali kelasnya, karena yang memberikan nilai kepada para peserta didik adalah guru bidang studi masing-masing dan wali kelas tidak punya hak sedikitpun untuk merubahnya. Wali kelas adalah rekan guru bidang studi untuk berdiskusi tentang perkembangan peserta didik pada bidang studi masing-masing, juga sebagai orang yang mengerjakan persoalan-persoalan administrasi siswa dan menampung keluhan-keluhan siswa di kelas tersebut untuK didiskusikan bersama dalam rangka mencari solusi. Begitupun tetap saja siswa yang terindikasi tinggal kelas ini tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Melihat kondisi itu aku berfikir bahwa karakter mereka telah terbentuk oleh proses sosialisasi yang selama ini mereka jalani, baik itu sosialisasi primernya maupun sosialisasi sekunder nya.
Apa itu sosialisasi primer? Adalah sosialisasi yang pertama sekali didapatkan seorang anak dalam kehidupannnya, yaitu di keluarga (di rumah). Sosialisasi inilah yang dianggap peletak dasar kepribadian seorang anak sebagai modal untuk melanjutkan ke sosialisasi sekunder. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah sosialisasi setelah sosialisasi primer, yaitu di luar rumah, seperti di lingkungan tempat tinggalnya, di sekolah atau dimanapun ia bergaul dengan orang lain di luar rumah. Hasil dari kedua sosialisasi itulah yang membentuk kepribadian seseorang.
Untuk itulah, bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan untuk bisa merubah karakter seseorang dan aku juga bukan Tuhan yang dapat membolak-balik balikkan hati manusia. Sebagai seorang guru dan wali kelas aku cuma dapat memberikan pandangan, nasehat dan arti masa depan bagi kelangsungan hidup manusia. Memang....tidak semua masa depan yang baik itu hanya bisa didapatkan dari pendidikan formal, hanya saja saat ini zaman sangat menuntut bukti-bukti pendidikan formal seseorang ketika akan memasuki bidang pekerjaan tertentu. Okelah, kalau saja kita mau mengatakan akan menjadi pengusaha, tetap saja harus memiliki ilmu dan yang paling efektif buat anak anak sekarang untuk mendapatkan ilmu ya dengan sekolah. Bahayanya, sekolah malas, membaca malas, belajar dari lingkungan dan orang-orang sukses juga malas, skill tidak punya, maka kemungkinan akan sangat sulit untuk mendapatkan keindahan masa depan itu. Tak perlu dibantah, realita zaman ini memang sudah berkata demikian.
Siswa yang terlalu lama memahami hal hal demikian akan diprediksi bakal tergilas oleh zaman, tergilas yang aku maksudkan adalah orang-orang yang hanya akan menjadi penonton atas kemajuan zaman dan segala kemudahan kemudahan masyarakat dalam mengakses semua sumber daya negara ini. Aku sangat tidak ingin pada suatu hari nanti ada di antara mereka yang mengatakan "aduh, nyesal sekali aku waktu itu gak sekolah bagus-bagus". Kalimat seperti itu pernah beberapa kali kudengar dari tukang becak yang aku naik, supir bus yang kebetulan aku duduk di dekatnya. Waktu itu mereka juga membanggakan teman-teman mereka yang sudah "sukses" dengan mengatakan "si Fulan itu dulu kawan SMA ku nya itu, cuma dia begini dan aku begitu". Hehe...."dr Zul itu kawan SD ku nya dulu itu, seringpun kutokok kepalanya aritu, mungkin karena kutokok itu jadi encer otaknya ya..", dan sebagainya.
Sudahlah, berhentilah selalu menatap kejayaan masa lalu, nanti kita jadi susah membangun kejayaan masa depan. Penyesalan itu memang belakangan datangnya.
Terima kasih, semoga ada manfaatnya.