Di penghujung tahun ajaran, di setiap sekolah baik SD, SMP, dan SMA seringkali megadakan acara yang bertajuk perpisahan. Ada juga beberapa yang menamakannya dengan pelepasan dan sebagainya. Acara yang bergelar perpisahan itu juga selalu dilakukan dengan berbagai cara oleh sekolah masing-masing. Aku masih ingat ketika mengajar di SMA Al Azhar Medan, perpisahan itu selalu dilakukan dengan pergi ke tempat rekreasi misalnya ke Perapat dan mengkonsep acara perpisahan itu di sana. Begitu juga beberapa sekolah lain yang pernah aku lihat. Tetapi banyak juga sekolah yang mengadakan perpisahan dengan menyewa tempat seperti di Hotel atau yang semacam itu lalu menyelesaikan acaranya di tempat itu. Memang terserah masing-masing sesuai dengan pertimbangan mereka masing-masing juga.
Beberapa hal yang sedikit banyak menjadi perhatianku adalah perpisahan di Gedung/hotel. Dengan sejumlah uang siswa harus membayarnya agar acara tersebut dapat terlaksana. Sedikit banyaknya uang yang dikeluarkan siswa memang tergantung dimana mereka mengadakannya. Jika di tempat yang mewah dan mahal, maka kemungkinan besar kutipannya juga akan mahal. Semua siswa pasti sangat ingin untuk mengikuti acara perpisahan itu, dan akhirnya harus merogoh kantongnya atau kantong orang tuanya agar si anak dapat mengikuti acara tersebut. Ketika siswa akan berangkat ke acara perpisahan, terutama jika anak SMA yang wanita, maka biasanya mereka akan berhias diri / make up ke salon atau memanggil ahli make up ke rumahnya, dan ini juga membutuhkan biaya. Begitu juga yang pria terkadang harus menempah jas karena ingin seragam satu kelas, atau baju-baju yang memberikan identitas tersendiri pada kelompok kelasnya. Adapun yang tak luput dari pandanganku pada setiap acara perpisahan terutama level SMA adalah beberapa siswa yang sudah banyak mengelurkan biaya untuk acara perpisahan, ternyata begitu sampai di lokasi perpisahan ia hanya duduk, makan ketika masuk acara makan, duduk lagi menyaksikan acara, mungkin sampai sore, sedikit foto-foto di lokasi acara dengan temannya, lantas pulang. Tidak ada sesuatu yang istimewa yang ia lakukan di acara perpisahan tersebut, misalnya ia tampil ke panggung dalam acara perpisahan itu untuk perform atau bentuk-bentuk tampilan lain yang sedikit memberikan arti atas kehadirannya di acara tersebut. Pemandangan seperti itu buatku menjadi mengurangi arti pentingnya sebuah acara perpisahan di tempat-tempat yang mahal, dan mahal juga untuk siswa melengkapi dirinya. Akhirnya terlintas juga di kepalaku ini semua hanya demi gengsi para remaja. Tapi itu cuma fikiranku loo...
Mengamati beberapa acara perpisahan yang sudah sangat sering aku ikuti, maka ada beberapa poin yang menjadi catatanku, di antaranya adalah :
1. Kondusifitas
Sebuah acara perpisahan yang dilakukan dengan jumlah siswa yang
besar dan dilakukan di dalam sebuah gedung, akan sangat sulit u-
ntuk mendapatkan suasana yang tenang, fokus dan melibatkan emosi.
Perlu ada konsep acara yang dianggap mampu menarik perhatian sis-
wa yang dirasa merupakan ketertarikan bersama. Fikirkan aja masi-
ng-masing apa itu. Sebaliknya acara perpisahan dengan jumlah siwa
yang tidak terlalu banyak lebih bisa mendapatkan suasana yang kon
dusif dan fokus pada acara.
2. Emosional.
jumlah peserta perpisahan yang sangat banyak juga menjadikan semakin sulitnya melibatkan emosional para siswa dalam mengikuti acara. Di kanan kiri selalu saja ada tema lain yang menjadi lawan dari acara utama yang sedang berlangsung, misalnya selfie-selfie, ngobrol, njahilin teman dan lain sebagainya yang menjadi penyebab para siswanya tidak fokus pada acara yang sedang berlangsung. Dengan kondisi yang demikian bagaimana mungkin peserta acara/siswa dapat larut emosionalnya dengan acara yang berlangsung?
3.Kemasan Acara
beberapa kegiatan perpisahan yang pernah aku ikuti sering juga tidak memberikan kesan akan sebuah arti perpisahan. Adapun maksudnya adalah acara yang dibuat terkesan monoton dan menjadi seremonial belaka. Kecenderungan acara perpisahan pada umumnya adalah membuat para peserta acara merasa akan kehilangan apa yang selama tiga tahun sudah mereka jalani, begitu juga dengan hal-hal lain yang mengiringi proses mereka selama tiga tahun tersebut. Sebagai contoh, mereka tidak akan bertemu lagi dengan guru mereka yang setiap hari berada di hadapan mereka. Mereka tidak akan bertemu kembali dengan beberapa teman yang selama ini mereka jalani dengan canda tawa, karena akan menempuh jalan yang berbeda setelah tamat nanti. Mereka tidak akan lagi melihat gedung sekolah, ruang kelas, halaman sekolah, kantin dan beberapa tempat lain setiap hari mereka ada di dalamnya. Dengan demikian seharusnya mereka sangat memaksimalkan pertemuan mereka pada acara perpisahan tersebut, bukan malah membuat kegiatan-kegiatan lain yang tidak merupakan bagian dari skenario acara perpisahan tersebut.
4. Eksistensi guru dan siswa dalam acara
Adapun yang harus didudukkan adalah bagaimana posisi guru dan siswa dalam sebuah acara perpisahan. Acara Perpisahan pada dasarnya adalah sebuah momentum akan tidak bersamanya lagi seorang siswa dengan siswa yang lain juga antara siswa dengan gurunya. Dengan demikian maka hendaknyalah sebuah acara disusun dengan memberikan waktu khusus bagi para siswa dan gurunya untuk bersalaman, anggap saja salaman terakhir dan ucapan terima kasih siswa kepada gurunya, dan itu dikemas dalam sebuah acara yang khikmad/khusuk/fokus, dan buatku peribadi justru di situlah essensi dari sebuah acara perpisahan, bukan membiarkan gurunya mulai datang terduduk di hadapan meja, diberi makan ketika jam makan, lantas menyaksikan acara-demi acara yang kadang terkesan monoton, lantas tiba waktunya ia akan pulang.
5. Barangkali ada poin lain yang bisa ditambahkan oleh para pembaca...
Akhirnya saya hanya bisa mengatakan bahwa harus didudukkan substansi dari sebuah acara perpisahan, apakah hanya sebuah seremonial belaka, atau ada hal lain yang menjadi substansinya. Pada akhirnya bagaiamana agar sebuah acara perpisahan dapat sangat berbekas dan menjadi hal indah yang dapat dikenang sepanjang masa...
Cocok klen rasa?