Tulisan ini tidak dalam rangka menceramahi atau mengajari, tapi hanya sebuah renungan atau refleksi atas proses sosial yang sedang berjalan. Tetapi dengan harapan bisa juga membuat orang lain menjadi lebih kuat untuk berpuasa, karena buatku, puasa itu sebenarnya sangat berat, maka aku harus banyak-banyak menyadarkan diri bahwa ini wajib!!!, dan aku bakal gak tahan dengan siksaan Allah swt. Bentuk menyadarkan dirinya, salah satunya ya dengan membuat tulisan ini. Tulisan ini juga tidak akan mengupas secara mendalam hal-hal yang bersifat konseptual, agar membacanya menjadi lebih ringan dan santai. Yah...begitulah.
Secara sederhana nafsu dapat diartikan sebagai keinginan, dan ia adalah salah satu unsur dalam diri manusia yang tidak mungkin dapat dihilangkan dari komposisi sebuah zat yang bernama manusia. Jikapun ia dapat dihilangkan, maka sebutannya tidak lagi manusia, tetapi lebih tepat sebagai Malaikat.
Saat ini 8 Mei 2019 adalah bulan ramadhan (dalam kelender Hijriah), dan itu berarti semua Ummat Islam wajiib melaksanakan Puasa. Nah, ngomong-ngomong tentang puasa, tentu hal paling menjadi unsur penting dalam puasa itu adalah nafsu. Aku jadi teringat beberapa kitab yang kubaca, yang mengatakana bahwa Adam sebagai manusia pertama dahulunya hidup di syurga bersama Hawa sebagai pasangannya. Allah Swt sudah mengingatkan kepada Adam dan Hawa agar tidak mendekati sebuah pohon dan memakan buahnya. Seharusnya sebagai hamba Allah swt yang baik, jangan lagi ditanya kenapa tak boleh, tetaapi ikuti saja perintah itu. Iblis sebagai salah satu ciptaan Allah yang tidak senang dengan kehadiran manusia dan menyatakan diri bermusuhan dengan manusia dan ingkar kepada Allah swt sebagai penciptanya, melihat bahwa dalam diri manusia itu ada satu unsur yang bernama nafsu, dan karenanya Iblis akan menghancurkan manusia lewat unsur yang bernama nafsu itu. Maka iblis menggoda nafsu Adam dan Hawa untuk memakan buah yang sudah dilarang Allah swt dengan berbagai tipu daya dan alasan yang akhirnya mampu menipu Adam dan Hawa, dan ahirnya Adam dan Hawa memakan buah itu, dan setelahnya tampaklah oleh keduanya kemaluan mereka, dan mereka sibuk menutupinya dengan daun-daun yang ada di Surga. Mulai saat itu Allah menurunkan Adam dan Hawa ke Bumi, berkembang biak, beserta nafsu yang ada dalam diri manusia yang menjadi salah satu kelemahan manusia.


Puasa pada hakikatnya adalah mengendalikan hawa nafsu, bukan membunuh hawa nafsu, karena kita takkan mampu membunuhnya. Berbagai persoalan dalam rutinitas kegiatan kita sehari-hari menawarkan banyak kesempatan untuk kita bisa membatalkan puasa kita.
Aku pernah mempunyai teman di Siantar, seorang Guru yang beragama Islam (ES). Beliau pernah bercerita kepadaku perihal nafsu ketika sedang berpuasa. Ia mengatakan "Aku Wan, kalau sedang puasa, asal mau pulang siang-siang, akukan lewat jalan Sutomo, aku sering naik kereta pelan-pelan..kupandangi pinggir-pinggir jalan Sutomo itu, banyak kali tukang jualan makanan, jualan es-es. Jadi kalo udah terlihatku tukang es cendol, mulailah bergejolak dalam diriku ini.Ntah kenapa kalo es cendol ini memang gila awak dibuatnya, macam-macam gak tahan awak nengoknya. Kutengok kiri kanan, ntah ada yang kenal apa enggak, mau kuhentikan keretaku di situ, tapi aku masih mikir, lalu kuteruskan lagi keretaku, tapi memutar lagi dari jalan Merdeka menuju jalan Sutomo lagi. Kembali kulewati tukang es cendol tadi, bedegub kembali jantungku dan rasanya akan segera kubelokkan keretaku ini ke sana, kupandang lagi sekeliling....ahh, amannya...sambil aku terus berfikir keretaku sudah melewati tukang es cendol itu. Karena jalan itu adalah jalan satu arah (one way), maka aku sekali lagi berputar dari jalan Merdeka kembali ke jalan Sutomo, dan kali ini tak ada cerita. Begitu keretaku sudah mulai dekat, kugaskan keretaku ke tempat tukang es cendol itu.."bikin dulu wak",begitu siap dibuat kubacakanla do'a buka puasa, wkwkwkwk,dan...Ssshhaaaaaapp...dinginnya es cendol dan rasa manisnya menyentuh kerongkonganku yang sangat kering itu, Aaaaahhhhh...enaknyaa...tak terbayangkan rasanya yang menghapus kehausanku tadi. Kalah juga Imanku bah....", sambil aku dan beliau tertawa menceritakannya dan mengatakan setelah itu ia nyesal udah berbuka (tempus).
Mungkin semua orang yang tempus, setelahnya ia akan merasakan seperti ada penyesalan. Tapi aku tak tau sekarang apakah Beliau tidak seperti itu lagi, apalagi dengan Status sosial yang semakin tinggi saat ini. Tapi aku yakin beliau tidak seperti itu lagi, karena sekarang rokok saja sudah bisa ia tinggalkan dalam keadaan tidak bulan Ramadhan, apalagi sekedar menahan puasa sampai maghrib. Sukses buatmu Kawan.
Sepenggal cerita itu memang lucu, seperti cobaan anak kecil, tapi kalau kita fikir memang itu sangat realistis, tak peduli anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, mungkin pernah berhadapan dengan kondisi seperti yang diceritakan di atas. Aku juga pernah mengalami hal yang sama, walaupun pada saat itu Imanku masih menang, ditambah lagi aku takut kalau-kalau ada orang yang mengenaliku, padahal aku sudah jauh ke tempat yang jauh dari tempat tinggalku. Saat itu aku memang berada di tepi jurang dan sudah condong ke jurang. Di situlah posisi nafsu kita sedang di uji. Pada saat diuji, maka ketaatan dan keimanan seseoranglah yang akan berbicara.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah bahwa ketika kita sedang berpuasa, maka kontrol diri (self control) kita memang semata-mata hanya keimanan kita, bukan orang tua, karena mereka tidak tau kita sedang dimana dan masih berpuasa atau tidak. Tidak juga Polisi, karena polisi tidak punya kewajiban mengawasi orang berpuasa, tidak juga Masyarakat, karena masyarakat tidak perduli orang mau puasa atau tidak dan tak mengetahui kita beragama Islam atau tidak, dan karena masyarakat juga mengetaui bahwa urusan puasa hanya urusan Hamba dengan Tuhannya, bukan urusan Hamba dengan manusia lain. Karena itulah Puasa memiliki nilai ibadah yang berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Pahala puasa langsung Allah yang memberikannya dan menilainya, karena hanya Allah saja yang mengetahui seberapa besar kualitas puasa kita ini. Kita bisa saja sok-sok lemas di depan orang lain, menampilkan wajah lesuh, sehingga orang lain salut dengan keistiqomahan kita berpuasa, atau sok-sok alim, sok dermawan di tengah masyarakat ketika bulan puasa dan lain sebagainya. Tapi Allah swt mengetahui isi hati manusia. Kembali nafsu menjadi sumber utamanya.


Pada akhirnya, kita memang harus menjalani peperangan dengan diri kita sendiri, tak mungkin bisa lari dari peperangan itu, kecuali bagi orang-orang yang tidak siap untuk berperang, karena pada jaman Rasulullah pun ada juga orang-orang yang takut untuk berperang dan mundur dari peperangan. Seberapa kuat kita berusaha memenangkannya, adalah hal yang terpenting dalam berpuasa. Semoga kita tetap bisa terus kuat dan diberi Allah swt kekuatan untuk tetap bisa menjalankan puasa ini secara "baik"...Amiin.
8 Mei 2019, Pukul 11.10 Wib.