Tak henti-hentinya kita kalau membaca media sosial baik cetak maupun elektronik selalu saja ada berita-berita yang terkait dengan persoalan seks, baik itu dikalangan remaja, rumah tangga bahkan sampai menyentuh ke wilayah orang-orang yang berprofesi di bidang-bidang keagamaan. Saya secara pribadi melihat bahwa ekpresi seks yang seseorang lampiaskan dalam berbagai bentuk adalah sebuah kewajaran dan manusiawi, hanya saja nilai dan norma yang hidup di masyarakat ini memang terkadang berbeda-beda tertanamnya dalam diri setiap orang. Dengan demikian maka masalah seks yang muncul di masyarakat adalah salah satu bentuk persoalan internalisasi (memasukkan ke dalam diri seseorang) nilai dan norma ke dalam diri seseorang.
Sebagian orang mengatakan bahwa seks adalah "misteri". Ia bukan seperti sebuah benda yang dapat dilemparkan ke atas lantas orang lain dapat melihatnya dan mengetahui dengan jelas benda itu dan mampu mengambil langkah-langkah bagaimana cara menghindarinya atau mengaturnya sehingga ia bisa tetap ada di bawah kontrol akal sehat dan hati manusia.
Tulisan ini akan saya awali dengan mengutip sebuah buku Karya Veven Sp Wardhana, yang bertajuk "Budaya Massa, Agama, Wanita", yang dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta, tahun 2013.
Jika benar bahwa sunat perempuan (female genetikal mutilation) merupakan tradisi negeri arab, maka tabiklah (selamat tinggallah) pada bangsa ini karena ternyata mereka sudah ahli anatomi sejak baheula (sejak dulu kala; kuno). Salah satu keahlian mereka adalah menemukan bahwa sumber kenikmatan seksual perempuan adalah Klitoris. Melalui berjejal saraf dalam klitoris itulah perempuan dapat mencapai orgasme, sebuah puncak kenikmatan seksual.
Secara alami, begitulah adanya. Jika kemudian diberlakukan sunat perempuan, dari pengeratan hingga pemangkasan klitoris, campurtangan kultur berserta konstruksi atasnyalah yang melandasinya. Ada misalnya yang mengatakan bahwa sunat merupakan wujud konkrit bagi sahnya inisiasi perempuan tersebut dalam memasuki agama tertentu. Adapula yang mengatakan bahwa sunat diberlakukan agar perempuan tak menjadi liar dan binal karena kepemilikannya atas klitoris.
Namun, sepandai-pandainya ahli anatomi klitoris dalam kaitannya dengan orgasme, ternyata ahli tersebut gagal juga dalam hal seksualitas perempuan, mengingat musabab orgasme perempuan, yang sama-sama multiple bisa didapatkan melalui organ lain, yakni titik G alias G-Spot. Tak ada klitoris, G-Spot pun tak kalah bikin kenikmatan sungguh menjadi-jadi. Bisa saja ahli anatomi tadi faham benar akan alternatif klitoris itu, hanya saja mereka gagal menemukan dimana sesungguhnya lokasi koordinat titik - G itu berada. Kalau saja mereka bisa yakin dimana sesungguhnya titik G itu, pasti terusulkan pula untuk menyunat titik G itu.
Belum lagi sumber lain yang menjadi musabab kenikmatan seksual perempuan, yakni kondisi psikis atau psikologis---suasana batin, ketentraman hati, permainan awal yang membuat perempuan comfortable, dan seterusnya. Jika saja bisa dilacak koordinat kondisi psikologis itu, sangat boleh jadi kondisi itu akan dimutilasi pula!
Bahwa berjuta syaraf di klitoris menjadi sumber kepuasan seksual perempuan, bahwa titik G menambah titik-titik koordinat pencapaian " the O", pertanyaan pentingnya adalah :
sungguhkah perempuan menjadi binal lantaran karunia perkelindanan klitoris dan titik G itu? Setidaknya, saya belum pernah membaca riset ilmiah perihal kebinalan perempuan itu.
Lantas, bagaimana dengan seksualitas lelaki?
Darimana kita ---setidaknya saya "membaca" tradisi seksualitas lelaki? Jika mengacu pada berderet peraturan daeah yang diundangkan di negeri ini, tampak betapa liar dan betapa susah untuk mengendalikan gelegak syahwat lelaki. Sebelumnya, isi suatu iklan layanan masyarakatpun menegaskan adanya limpah-ruah libido lelaki----sementara iklan tersebut menuding perempuan sebagai biang libido lelaki itu; sama persis dengan ideologi dibalik munculnya pasal dan ayat dalam peraturan daerah.
Iklan layanan masyarakat itu menggambarkan sosok perempuan berpakaian seksi: ketat dan minim. Teks dalam iklan itu kira-kira berbunyi; "Bagaimana pemerkosaan tidak meningkat naik jika batas tepi pakaian perempuan juga naik tinggi..." Demikian halnya dengan peraturan daerah yang menggariskan perempuan dilarang berada di wilayah publik saat malam hari. Alasannya : memancing terjadinya kejahatan (tepatnya kejahatan kelamin alias pemerkosaan, yang pastilah dilakukan lelaki. Tapi biasanya media massa mengalihkan musababnya dengan cara mewacanakan " entah setan mana yang merasuki lelaki itu hingga dia melakukan kekerasan seksual itu...")
Maknanya: libido lelaki memang mudah membuncah---dan dianggap bisa dikendalikan. Saya jadi bertanya-tanya: tak adakah ahli anatomi yang bisa menemukan di koordinat mana titik-titik sensitif lelaki sehingga begitu mudahnya terumbar libidonya------dan dengan demikian bisa dipangkas dan dikerat musabab nan begitu mudah itu?
Sunat lelaki, jelas bukan untuk menghentikan dan mengendalikan libido seksual lelaki, tak sebagaimana diniatkan dalam sunat perempuan. Justru dengan sunat atau khitan itulah lelaki terlegitimasikan akil baligh sehingga sudah sah untuk melakukan hubungan seksual, termasuk kemungkinan hubungan yang mudah dikendalikan oleh "remote control" berupa sensualitas perempuan: pakaian ketat, pakaian minim, bahkan pakaian sangat tertutup---karena toh fantasi dan imajinasi lelaki bahkan mampu menembus ketebalan zirah yang terbuat dari besi baja, jika saja perempuan mengenakannya.
Menyunat fantasi, jelas muskil. Mengerat imajinasi, jelas absurd. Barangkali dalam absurditas itulah kemudian tertemukan lorong darurat bagi libido lelaki, yakni : poligini (memilih lebih dari satu pasangan). Pertanyaan pentingnya adalah: apa benar libido lelaki tak hendak terbendung? Jangan-jangan logikanya, aslinya, dibalik : karena ada lorong darurat, maka lorong itu harus dimanfatkan dengan cara merasionalisasi bahwa ada syahwat yang terlampau kuat untuk dikekang....
Buncahan syahwat lelaki tak sebatas terlegitimasi, bahkan juga terlegalisasi alias dilindungi melalui pasal dan ayat dalam perundangan. Setidaknya begitulah termaktub dalam undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan: lelaki diperbokehkan memiliki istri lebih dari satu sepanjang istrinya tak mampu melayani gelegak libido suaminya. Tak ada pasal dan ayat perihal tidak mampunya lelaki dalam "menjalankan tugas"nya. Jika ketidakmampuan lelaki dalam "menjalankan tugas" itu dibahasakan dengan kalimat lain, bunyinya kira-kira : pihak lelaki kewalahan menghadapi buncahan gelegak syahwat perempuan. Itu sebabnya perlu pengendalian libido perempuan melalui pengeratan dan pemangkasan sumber segala sumber maha sumber birahi, yakni klitoris.
Hmm. kok terasa lelaki itu sebatas menjalani impuls semata ya, layaknya hewan.
Nah, semua yang menggunakan tinta kuning adalah kutipan bulat-bulat dari buku yang tertera di atas. Lewat tulisan di atas, saya hanya ingin mengingatkan kembali (remind)bahwa persoalan seks adalah persoalan yang tak bisa dianggap kecil. Potensi sex dalam diri lelaki khususnya begitu tak bisa dikekang dan harus memiliki wadah untuk menyalurkannya. Saya sangat tertarik dengan kalimat terakhir Wardhana itu, "serasa lelaki itu sebatas menjalani impuls semata, layaknya hewan". Dalam KBBI, impuls itu adalah rangsangan atau gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Pengertian di atas memberikan pengertian bahwa ketika libido lelaki itu sedang menggelegak, maka ia akan bisa melakukan apa saja untuk mengeluarkannya dan mengenyampingkan rasionalitas atau akal sehatnya.


Dari channel youtube seorang pengacara terkenal Hotman Paris Hutapea, ia mewawancarai beberapa wanita-wanita cantik nan seksi di Bali dan Jakarta. Pertanyaan Hotmsn Paris itu juga sampai ke persoalan sudah berapa kali berhubungan intim dengan pasangannya (pacarnya) dan pernah gak berhubungan intim dengan orang lain yang bukan pacarnya atau pasangannya. Beberapa wanita yang diwawancarai Hotman Paris mengatakan bahwa "lelaki cuma butuh itu", begitu kira-kira jawaban para wanita itu. Lebih lengkap bisa dilihat di youtube milik Hotman Paris Official youtube channel.
Akhirnya aku cuma mau bilang dan ingatkan bahwa kadang-kadang wanita suka lupa pada persoalan-persoalan seperti itu dengan alasan apapun yang menginginkan lelaki dapat memakluminya. Tidak, libido lelaki tidak menginginkan alasan apapun! Ia akan serta-merta menurun ketika alasan itu benar-benar bisa "ditolerir" menurut kacamata si libido itu. Rasionalitas lelaki tidak jarang dikalahkan libidonya, walaupun pada akhirnya libido lelaki itu menjadi suatu masalah baik dalam hubungan orang berpacaran,rumah tangga, maupun masyarakat.