Penulis: Ikhwan Rivai Purba
Dulu aku sering datang ke Kampungku dengan senang dan tak merasa ada hal-hal yang perlu aku takuti dan khawatirkan. Aku masih sering berjalan ke sana kemari dengan jalan kaki dan melintasi berbagai pepohonan nan rindang. Sawah-sawah masih terbentang luas di antara jalanan yang aku lalui. Orang-orang yang memiliki sawah masih terlihat membersihkan sawah-sawah mereka dengan penutup kepala dari topi jerami dan beberapa wanita dengan kain sarung yang dibalutkan di kepalanya.
Pohon-pohon Durian yang tinggi menjulang masih sangat sering aku temui di setiap aku berjalan-jalan di kampung itu. Tepatnya, Desa itu bernama Pematang Bandar yang kini telah menjadi kecamatan dan Desa Sibolatangan. Dua desa yang sering sekali aku jalani waktu itu memberikan banyak kisah yang tak mungkin bisa aku lupakan sampai hari ini.

Perjalan dari satu Desa ke Desa yang satunya lagi jarang aku dan saudaraku tempuh dengan kendaraan, tetapi kami lebih senang berjalan kaki, karena di setiap perjalanan kami sering melakukan banyak hal. Misalnya di tengah perjalanan kami berhenti sebentar untuk mengambil kelapa muda yang enak sekali rasanya, satu diantara saudaraku yang pandai memanjat kelapa menjatuhi kelapa yang masih muda-muda dan segar ke bawah dan kami belah dengan semangat untuk mengambil airnya. Satu hal yang menarik adalah ketika kami akan meminum air kelapanya, sepupuku yang kebetulan tinggal di Desa tersebut memotong bambu yang berukuran kecil dan menjadikannya seperti pipet, lalu kami gunakan untuk menyedot air kelapa yang sudah dibolongi untuk diminum airnya, tanpa kami berfikir apakah di dalam bambu tersebut bersih atau tidak, yang penting "kipas tross"...Glek,glek,glek...suara air kelapa itu kami minum dengan semangatnya. Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan beramai-ramai dengan teman-teman dan saudara sambil tertawa-tawa dan menceritakan berbagai hal yang saling nyambung di antara kami.
Belum berhenti sampai di situ, belum lagi kami sampai ke Desa yang kami tuju, kami singgah kembali ke Sungai pinggiran yang berada di antara pohon-pohon besar yang rindang dan pohon-pohon bambu yang tinggi-tinggi. Jangan bayangkan sungai itu seperti sungai besar dan panjang seperti sungai Ular di perbatasan Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Sungai itu tidak terlalu besar dan berada di antara bebatuan yang besar dan memiliki air yang sangat jernih. Setiap mata memandang ke air itu, maka apa yang ada di bawah air itu kelihatan semuanya, pasir-pasirnya, batu-batu kecil, bahkan ikan-ikan kecil yang berenang-renang di dalam air tersebut, tetapi ikan tersebut susah sekali untuk diambil, karena geraknya yang sangat cepat. Selain itu, batu-batu yang ada di pinggiran sungai itu ada yang besar, ada yang kecil, ada yang meninggi ke atas, ada yang saling berhimpit, dan di antara celah batu tersebut ada yang mengeluarkan air yang sangat jernih. Sepupuku bilang bahwa air itu dari dalam batu dan bisa langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Karena aku kurang percaya, maka aku suruh dia untuk meminumnya dan ia segera mengambil air itu dengan tangannya dan meminumnya di depanku. Karena sudah percaya akupun tak mau kalah lalu menampung air itu dengan tanganku dan segera meminumnya. Rasanya...waaaaah...segar sekali. Aku, saudaraku dan temanku terus bermain air di sungai yang terlalu besar itu tetapi memiliki air yang sangat jernih itu. Orang-orang Kampung setempat sambil lewat dan melihati kami sambil tersenyum ramah dan membiarkan kami terus bermain air.

Gambar Ilustrasi
Tanpa mengeringkan lebih dahulu badan kami dengan handuk, kami keluar dari sungai dan melanjutkan perjalanan ke Desa yang kami tuju. Di jalan pakaian kami kering sendiri dihembus angin. Apalagi ketika musim durian tiba, aku selalu singgah ke ladang keluargaku untuk menyantap durian mereka yang masih sangat bagus kualitasnya, buahnya besar-besar dan jarang sekali yang rusak. Pohon durian masyarakat kampung masih sangat banyak dan besar-besar. Begitu juga dengan pohon durian Atokku (baca : kakek), bahkan aku sering tinggal di sana ketika hari libur untuk membantunya menjaga buah durian miliknya, dan sambil menjaganya aku bebas memakan buah durian itu sepuasku. Setelah selesai memakan buah durian rasa hauspun datang dan aku disuruh untuk mengambil jerigen (wadah) untuk mengambil air di sungai dari celah-celah batu yang memancarkan air, dan air itulah yang kami minum bersama-sama.
Di perjalanan aku sering bertemu dengan orang-orang setempat yang juga sedang berjalan kaki menuju tujuannya masing-masing. Setiap kali berpapasan mereka selalu menegurku dan sepupu-sepupuku, walau sekedar basa-basi, tapi aku tau bahwa itu adalah bentuk interaksi yang ramah dan merasa bahwa mereka warga yang baik. Jarang aku temui kendaraan yang lalu lalang di Desa tersebut. Rumah-rumah yang kulewati rata-rata masih sangat sederhana dengan atap rumbia yang katanya tidak memancarkan panas matahari ke dalam ruangan rumah. Hanya ada juga beberapa rumah yang sudah menggunakan seng sebagai atap rumahnya. Setiap hari sabtu Desa Pematang Bandar itu selalu ada "Pekanan", kalau istilah saat ini adalah pajak/pasar, hanya saja pekanan itu hanya dilakukan seminggu sekali. Tempatnya hanya beralaskan tanah dan terpal-terpal sebagai atapnya. Di situlah warga menjual semua yang bisa ia jual untuk mencari keuntungan ekonomi tambahan, misalnya mereka menjual pisang hasil ladangnya, menjual, durian atau buah-buahan lain hasil ladangnya,Ikan hasil kolamnya, walaupun ada juga yang menjual bahan-bahan lain seperti buku, pakaian, sembako dan lain sebagainya, tetapi biasanya yang seperti itu adalah orang-orang luar desa yang ikut berdagang di pekan tersebut. Suasana dan pengalaman itu menjadi catatan tersendiri yang indah dalam perjalanan hidupku.
Kini...
Ketika aku kembali pulang ke kampung orangtuaku, ada warna dan suasana yang jauh berbeda dengan apa yang aku ceritakan di atas. Aku tak pernah lagi berjalan dari Desa Pematang Bandar ke Desa Sibolatangan, karena terik panas sudah mulai menyiksa tubuh tanpa ada penghalang-penghalang panas.
Selain itu Debu-debu jalanan serta asap-asap kendaraan masyarakat sudah mulai sangat terasa, terutama dari truk-truk beberapa toke sawit di daerah itu yang selalu hilir mudik mengambil hasil kebun para warga.
Aku yang dulu bisa dengan bebas memakan buah durian yang tidak hanya yang dimiliki oleh keluargaku tapi juga milik orang lain yang sering menyuruh singgah untuk merasakan durian mereka karena itu adalah bagian dari ketidaksombongan mereka,kini aku harus membeli durian yang beberapa masyarakat jual di pinggiran jalan dengan harga yang relatif mahal, karena pohon durian yang sudah sangat jarang. Karena rinduku pada rasa durian daerah itu, akupun membelinya beberapa buah. Setelah aku membelahnya maka kualitas buah durian itupun ikut berubah, terkesan kering, dan sesekali terlihat banyak kehitaman, bahkan kurang masak. Hal itu tentu tidak terjadi begitu saja. Menurut warga setempat itu disebabkan oleh semakin banyaknya sawit-sawit yang kini telah menjadi salah satu usaha andalan warga setempat, sehingga kualitas tanah juga semakin berkurang dihisap oleh "pohon-pohon rakus" itu.

Hempasan ekonomi dan tuntutan kebutuhan ternyata harus merenggut kerindangan pohon-pohon durian yang besar-besar itu. Cara pandang lain telah menyentuh masyarakat dan dengan segera mereka menjadikan kekokohan dan menjulangnya batang-batang durian itu menjadi komoditi-komoditi sesaat untuk keperluan para "kapitalis" dengan cara mengambil batang-batang durian itu untuk dijadikan papan, broti atau keperluan-keperluan lainnya. Satu persatu masyarakat mulai menumbangkan pohon-pohon duriannya dengan alasan ekonomi, dan ada juga yang dengan alasan bahwa buah duriannya semakin tidak baik kualitasnya, jadi tidak perlu lagi dipertahankan.
Aku coba untuk mengambil air dari celah-celah batu yang dulu pernah aku minum langsung, tapi air itu telah hilang dari sana, begitu juga dengan air sungai yang sangat jernih itu telah semakin berkurang dan sungainya juga semakin menyempit, rasanya tak lagi pantas untuk anak-anak bermain-main atau mandi-mandi lagi di sungai itu, yang kelihatan hanya beberapa warga yang memanfaatkannya untuk mencuci pakaian mereka sambil mandi menggunakan gayung yang mereka bawa dari rumah. Pekanan yang tadinya terhampar dengan apa adanya, kini telah menjadi seperti ruko-ruko tempat berdagang yang harus disewa dengan harga yang relatif mahal juga. Jalan-jalan desa semakin tak karuan, berlobang disana-sini, kemungkinan karena seringnya truk-truk pengangkat sawit dengan muatan yang sangat berat lalu-lalang di Desa tersebut.


Tapi apa boleh buat, warga membutuhkannya untuk mengangkat hasil ladang mereka. Pelan dan lambat jalanan itu bisa terperbaiki, itupun jika kepala desanya (pangulu) cepat tanggap dengan kondisi infrastruktur desanya. Orang-orang tak lagi terlihat begitu ramah dengan tegur sapanya, karena banyak kesibukan, untuk tetap menjaga hubungan yang baik, maka kalaupun mereka tak menegur, aku yang duluan harus menegur mereka untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja. Terlihat beberapa pemuda desa yang seringkali menjadi buruh para toke-toke sawit dan hidup di atas truk-truk mereka untuk mencari penghidupan. Mereka tak lagi mengerjakan sawah bersama orangtua mereka, karena sawah-sawah yang tertata indah yang pernah kulihat dulu, telah sirna dan berubah menjadi kebun-kebun sawit yang mereka anggap lebih menjanjikan kesejahteraan.
Ketika aku berada di rumah orang tuaku, aku terkejut melihat galon-galon air mineral berbaris di dapur. Aku menanyakan untuk apa galon-galon itu, dan ternyata galon-galon itu adalah untuk diisi air minum dengan cara isi ulang yang dijual oleh beberapa pedagannya di kampung itu atau untuk kebutuhan-kebutuhan lain yang membutuhkan air bersih. Ini berarti bahwa air di Desa atau di kampung itu sudah tidak lagi dipercaya oleh masyarakat setempat untuk dikonsumsi sebagai air minum, sehingga masyarakat sudah banyak yang menggunakan air isi ulang untuk kebutuhan rumah tangganya. Udah kaek Kota-kota ya...
Kemana alamku yang dulu itu? Kemana pohon-pohon yang terkesan angkuh dan besar-besar itu? Kemanakah sungai-sungai nan jernih dan menyegarkan itu? Kemana masyarakat kampung yang selalu tersenyum dengan tegur sapa yang ikhlas itu? Kemana itu semua? Seperti inikah Hasil dari Globalisasi dan Modernisasi itu???
-SEKIAN-