Aku adalah seorang guru SMA sejak tahun 2003 sampai hari ini. Ada berbagai sekolah SMA dimana aku pernah mengajar, di antaranya SMA Al Azhar Medan, SMAN 2 Pematangsiantar dan saat ini aku mengajar di dua sekolah SMA yaitu SMA Assyafiiyah Internasional Medan, dan SMAN 3 Medan. Dari secuil pengalaman mengajar itu sedikit banyak aku mengetahui beberapa karakter siswa yang notabene adalah para remaja. Saya akan sedikit paparkan siapa dan bagaimana para remaja kita ini, terlepas dari benar atau salah, inilah beberapa hal yang bisa saya deskripsikan.
1. Keaktifan dalam belajar.
Saat ini para siswa SMA yang sering dikatakan sebagai generasi milenial cenderung lebih berani merespon setiap pembelajaran yang disampaikan oleh gurunya, walaupun ada juga beberapa siswa yang masih belum berani bertanya atau merespon setiap proses pembelajaran. Model pembelajaran yang mereka senangi juga tidak sama dengan ketika aku masih menginjak bangku SMA yang cenderung satu arah ( kurang interaktif).
Mereka lebih senang ketika mereka dibuat menjadi aktif, misalnya dengan mengerjakan sesuatu, apalagi pekerjaan itu dengan menggunakan smartphone yang hampir rata-rata siswa SMA telah memilikinya. Tak heran jika perubahan itu terjadi, karena teknologi informasi yang semakin maju memberikan banyak pengetahuan dan tontonan yang terkait dengan remaja-remaja SMA. Di samping itu pula tentu hal ini tidak terlepas dari budaya keluarga yang membentuk si anak ketika berada di luar rumah/sekolah.
Aku masih terbayang bagaimana takutnya aku ketika akan menanyakan sesuatu kepada guru SMA ku, tanpa kutau alasan yang jelas mengapa aku harus takut. Hanya tetap saja dalam kepalaku bahwa guruku itu adalah orang yang hebat dan sangat pintar, sehingga untuk berinteraksi dengan mereka pun aku takut salah.
Saat ini anak SMA tak lagi mengadopsi pola interaksi seperti itu. Mereka lebih interaktif dan membangun interaksi dengan model mengarah kepada perkawanan. Memang, seorang guru harus juga mampu menjadi, orang tua, guru dan teman, sehingga siswa lebih nyaman untuk mengutarakan apa yang ingin mereka utarakan (curhat). Hal ini penting, karena anak-anak milenial saat ini cenderung lebih mengikuti peers mereka daripada nasehat2 formal yang disampaikan orang2 yang lebih tua dari mereka. Maka dari itu keterbukaan antara guru dan siswa memang sangat dibutuhkan.
Kelonggaran interaksi antara guru dan siswa saat ini juga terkadang bisa disalahartikan baik oleh siswa maupun gurunya.
Di salah satu sekolah swasta yang pernah aku ajar, aku pernah ditegur oleh seorang siswa wanita, "Pak, nanti bapak ada acara?", Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, lalu aku jawab "enggak, kenapa?", " Nonton yuk?", Tanyanya padaku. Terperanjat aku mendengar pertanyaan itu.
Nah, ada 2 hal yang perlu digaris bawahi.
Pertama, ternyata ada saja siswa yang berkarakter seperti itu diantara ratusan karakter siswa. Kedua, saat seperti itu, guru juga dicoba untuk bisa menyikapi hal-hal seperti itu dengan benar. Yah kalau gurunya ngeres juga, sudah jelas itu momen yang "asik".
Aku cuma memahami itu sebagai gejolak psikologis remaja aja yang tak perlu disahuti dengan serius, dan aku hanya tertawa sambil bilang "ada aja kamu ini"....hehe.
Tapi perlu juga digaris bawahi bahwa pola interaksi selonggar apapun, nilai dan norma harus tetap hidup dan interaksi tersebut.
3. Kecenderungan berkelompok
Menurut observasi ku, memang saat ini kecenderungan anak anak SMA untuk berkelompok cukup besar. Membentuk kelompok atau bergabung dengan kelompok buat mereka merupakan sebuah ekspresi kejiwaan mereka. Ada semacam kehebatan tersendiri bagi mereka, mereka merasa gaul dengan itu dan juga sebagai wadah curhat diantara sesama anggota kelompoknya. Kelompok yang dimaksud di sini bisa saja kelompok yang cenderung kurang positif, misalnya hanya ngumpul2 dan beraktifitas yang kurang bermanfaat, atau bisa juga kelompok yang positif, walau itu jarang, karena kelompok yang positif sudah ada di sekolah, misalnya kelompok ekskul. Dalam istilah sekarang kelompok-kelompok itu dinamakan dengan "tongkrongan".
Inilah maka dalam sosiologi dikatakan bahwa penyebab perilaku menyimpang itu, selain dari sosialisasi tidak sempurna, adalah sub kebudayaan menyimpang. Inti dari sub kebudayaan menyimpang itu adalah bahwa ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok (sub kebudayaan) yang tidak benar, maka orang tersebut juga akan menjadi tidak benar yang akan selalu berperilaku menyimpang.
4. Lebih memperhatikan penampilan.
Nah, yang ini terasa sekali.
Kalau kita pernah mendekati anak-anak SD atau bahkan SMP yang baru bermain, maka aromanya lumayan menyakiti hidung kita, dan mengganggu kenyamanan kita untuk menghirup udara....hehe
Nah anak SMA sekarang, sudah sangat jarang kita temui yang beraroma nyelekit, walau ada juga beberapa yang mungkin sudah bawaan badannya.
Penampilan dan yang berkaitan dengan tubuh mereka, sudah sangat diperhatikan. Di antara bukti yang bisa saya paparkan, anak SMA sekarang:
1. Selalu membawa cermin/kaca di dalam tasnya, atau sekarang smartphone nya sudah dapat melakukan fungsi cermin yang selalu mereka bawa itu. Itu mereka gunakan untuk selalu memperhatikan wajah mereka agar tetap cantik menurut mereka, sampai sampai beberapa siswa secara sembunyi-sembunyi bercermin lewat hp nya ketika sedang belajar...hehe.
2. Parfum. Benda ini juga menjadi sesuatu yang tak ketinggalan di dalam tas mereka. Setiap selesai olahraga atau ketika akan pulang sekolah, mereka selalu memakai parfum di tubuhnya, terutama pada wanita, walau kadang beberapa teman prianya minta parfum itu untuk disemprotkan ke tubuhnya. Sebagai guru sih ini gak masalah, ruangan jadi wangi dan tidak menggangu aktifitas menghirup udara..hmm.
3. Bagi wanita berjilbab, seringkali beberapa menit memperbaiki jilbabnya agar rapi dengan menghembuskan udara dari mulutnya ke atas untuk merapikan bagian depan jilbabnya.
Dan beberapa lagi yang tak perlu saya tuliskan. Ini juga adalah bagian dari gejolak psikologis mereka. Mereka yang wanita tentu ingin dilihat cantik oleh teman2nya, terutama yang pria.
Jadi, mari kita perhatikan adik kita, anak kita, teman kita, yang mulai mengalami gejolak psikologis, keingintahuan yang besar memerlukan kontrol yang juga besar dari orang lain, sekolah, terutama orangtuanya.
Semoga bermanfaat.