Semua manusia sama derajatnya di mata Tuhan yang maha esa. Itu jika kita berbicara dari perspektif agama. Tetapi ketika kita berbicara dalam perspektif sosial masyarakat, maka manusia atau masyarakat memiliki tingkatan / stratifikasi / kelas sosial. Ini terbukti dari dari bagaimana beberapa anggota masyarakat memperlakukan orang lain dengan cara yang berbeda dengan didasari oleh kelas sosialnya. Sebagai contoh, sekelompok orang yang memperlakukan masyarakat dari kelas sosial atas lebih baik dibandingkan dengan masyarakat dari kelas bawah. Lantas apa sih kelas sosial itu?
Kelas sosial adalah sebuah istilah yang oleh Karl Marx didasarkan pada kepemilikan barang-barang produksi atau kepemilikan atas modal (capital). Masyarakat yang memiliki modal yang banyak ia sebut dengan golongan masyarakat Borjuis sedangkan masyarakat yang tidak memiliki modal yang banyak atau sedikit disebut sebagai masyarakat golongan Proletar. Sederhananya dengan bahasa kita kita bisa saja menyebutnya dengan masyarakat kaya dan masyarakat miskin (orang kaya dan orang miskin).
Jika kita melihat kondisi saat ini tentu kita akan miris dengan beberapa fenomena di masyarakat dimana terdapat banyak orang-orang miskin yang masih sangat tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, sementara pada sebagian orang berlimpah dan berlebihan, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya, bahkan kebutuhan tersiernyapun masih berlebihan. Dengan demikian maka sebuah kondisi masyarakat yang seperti ini akan terlihat seperti tidak adil, padahal mereka sama-sama sebagai rakyat dan penduduk bangsa yang sama.
Lantas apa yang menjadi masalah dengan adanya kelas sosial ini?
Begini...Baik orang kaya atau orang miskin adalah sama-sama warga sebuah negara. Mungkin takdir dan nasib mereka yang berbeda dalam memiliki harta atau modal dalam hidupnya. Terlepas dari miskinnya mereka disebabkan oleh budaya atau struktur yang membuatnya menjadi demikian. Tetapi ketika dalam mengakses sumberdaya negara mereka dibedakan, itu dia yang menjadi masalah...Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Bunyi pasal tersebut sudah menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara sesungguhnya adalah untuk kemakmuran rakyatnya. Jadi ketika ada rakyat yang dibedakan dalam mengakses sumber daya negara itu, maka dapatlah dikatakan itu sebuah masalah dan ini seperti sebuah pengkhianatan terhadap UUD 1945 itu.
Rumah sakit pemerintah adalah sumberdaya negara. Tetapi ketika orang miskin tidak bisa berobat dengan layak di rumah sakit tersebut sedangkan orang kaya yang berobat di rumahsakit tersebut mendapatkan pelayanan yang prima dan ruangan yang sangat bagus, apakah ini bukan sebuah kebohongan terhadap UUD 1945 pasal 33 di atas? Sementara rumah sakit dan semua para medis yang ada di dalamnya juga digaji oleh negara sebagai pemilik rumah sakit tersebut, lantas mengapa jauh sekali perbedaan dalam merespon pasien orang kaya dan orang miskin? Mengapa merasa rugi sekali memberikan obat yang bagus untuk seorang pasien yang miskin? Ini hanya sebuah contoh andai saja ini terjadi, bukan bermaksud menyinggung sebuah rumah sakit tertentu, hanya contoh supaya jangan sampai memperlakukan rakyat miskin dengan perlakuan yang tidak wajar.
Sekolah Negeri adalah sumberdaya negara. Maka sebaiknya siapapun yang bersekolah di sana baik dari anak anak orang kaya atau anak-anak orang miskin, perlakuan negara terhadap sekolah tersebut juga harus sama atau ada diskriminasi. Misalnya dalam pemberian bantuan terhadap sekolah tidak memilih milih sekolahnya, karena ini berpengaruh terhadap minat belajar siswanya terkait sarana dan prasarana sekolah. Perlakuan yang baik kemungkinan juga akan menghasilakan output yang baik. Bukankah demikian? Maaf kalau saya salah...
Nah...Dalam beberapa cerita film atau sinetron banyak ditunjukkan bagaimana kelas sosial itu sangat hidup dalam diri seseorang atau keluarga. Keluarga yang tidak ingin menjodohkan atau tidak mau bermantukan orang miskin atau kelas sosialnya tidak sama dengan mereka karena dianggap akan mempermalukan mereka di tengah masyarakat. Begitu juga dengan seorang pemuda atau anak gadis yang ingin memilih jodohnya, seringkali juga tidak menginginkan mendapat pasangan dari kelas sosial bawah dan menginginkan pasangan yang mapan secara ekonomi. Cerita itu sering ditunjukkan di film-film atau drama-drama dan kita sering menontonnya bahkan tidak jarang kita mencemooh dan berkomentar agar tidak berperilaku membedakan-bedakan setiap manusia, seolah penontonnya adalah seorang yang paling baik.
Sekarang mari kita bertanya secara jujur dalam diri kita.
Baik itu sebagai orang tua, sebagai seorang gadis, sebagai seorang pemuda ataupun sebagai seorang kakek atau nenek....Benarkah anda-anda ini siap untuk bermenantukan seorang miskin jika anda orang tua yang kaya? Siapkah anda menjadi istri dari seorang pemuda miskin jika anda seorang gadis yang merasa tidak miskin? Siapkah anda menjadi suami dari seorang gadis miskin jika anda seorang pemuda yang merasa tidak miskin? Atau, siapkah kakek dan nenek melihat cucu kakek dan nenek berjodoh dengan seorang pemuda atau gadis miskin, sementara kakek dan nenek merasa bahwa cucu kakek dan nenek adalah seorang yang hebat dan mapan??
Jika tidak, terbuktilah sudah, kita hanya sebagai penonton film, drama atau sinetron yang baik. Sesungguhnya Kelas sosial itu juga masih hidup dalam diri kita masing-masing.
Semoga Tulisan ini bermanfaat, mohon maaf jika ada kesalahan atau menyinggung perasaan pembaca, kepada Allah swt saya mohon Ampun.
See u guys...
ADS HERE !!!