Mentari bersinar sangat terang, walau masih pukul 08.00 pagi tapi matari tak ragu memandang bumi dengan matanya yang tajam. Perusahaan tempat Gilang bekerja juga sudah mulai ramai dengan para pegawai yang akan melakukan pekerjaannya masing-masing. Hari itu banyak orang berdatangan dengan stylenya masing-masing. Ternyata perusahaan sedang membuka lamaran pekerjaan untuk mengisi bagian-bagian yang masih dibutuhkan. Wajar saja perusahaan terkenal tempat Gilang bekerja memang memiliki reputasi yang baik di masyarakat, baik dari segi produksinya maupun dari sisi sosialnya, sehingga jika ada kesempatan untuk bisa masuk menjadi pegawai / karyawan di perusahaan itu masyarakat akan segera berbondong-bondong mencobanya.
Kebetulan Nisa mendapat tugas dari direktur untuk menjadi
front liner yang memberikan informasi atau penjelasan kepada pelamar tentang terkait maksud mereka untuk menjadi pegawai di perusahaan tersebut. Berkali-kali ia harus menjelalskan banyak hal kepada para pelamar tentang prosedur yang harus mereka jalani sebelum masuk ke ruang wawancara dimana di ruangan itu sudah duduk menejer yang siap mewawancarai para pelamar kerja. Kesibukan itu membuat ia kadang tak sempat untuk berbasa basi dengan orang lain karena harus terus melayani para pelamar kerja yang terkadang membuat emosinya turun naik. Maklumlah, dinamika pekerjaan memang tak selamanya sesuai dengan maunya kita. Sementara Gilang dalam hal ini mengurusi berkas-berkas yang masuk dari pelamar kerja untuk diperiksa apakah berkas-berkas para pelamar ini sudah baik dan benar sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan perusahaan. Walaupun demikian pekerjaan Gilang tak terlalu menyita waktu hanya menunggu berkas masuk dan memastikan semua berkas sudah benar dan layak untuk diterima.
Di sela-sela waktu bekerja, Gilang terkadang keluar ruangan untuk sekedar menghirup udara luar ruangan dan sesekali ia teringat pada Nisa yang sedang melayani para pelamar di bagian depan kantor perusahaan. Gilangpun dengan ragu dana gak segan berjalan ke bagian depan untuk sekedar mau melihat Nisa yang sedang melayani para pelamar kerja. Gilang pura-pura lewat saja dan ketika melewati tempat Nisa bekerja, ekor matanya melirik ke arah Nisa, dan berharap bisa melihatnya dan berharap Nisa juga bisa melihatnya. Tapi waktu itu sayang sekali, udah capek-capek Gilang melirikkan matanya ke arah Nisa, tapi Nisa tak melihatnya lewat karena sibuk dengan pekerjaannya. Gilang sedikit kecewa, tapi ya sudahlah, yang penting aku masih bisa melihatn dirinya....fikir Gilang. Mulai sejak itu, Gilang bak seorang yang sedang mulai jatuh cinta yang setiap hari ingin sekali bertemu Nisa dan berbicara dengannya. Fikiran Gilang mulai tak fokus seratus persen pada apa yang sedang ia kerjakan. Begitulah kalau bekerja jika ada perasaan lain yang mengganggu fokus pekerjaan. Tapi Gilang juga manusia biasa, dan kehadiran cinta memang tak bisa diduga datangnya. Cinta datang tanpa perencanaan, ia datang tanpa permisi dahulu dan ia datang dengan segala macam rasa yang ia punya. Yah, barangkali itulah cinta menurut penulis.
Selama bekerja memeriksa berkas-berkas pelamar, fikiran Gilang juga selalu ke Nisa yang sedang berkerja, sehingga selalu saja keinginan keluar ruangan mendorongnya untuk sebentar-sebentar keluar dengan harapan bisa melihat Nisa. Beberapa teman Gilang yang juga bertugas sama dengannya terkadang juga agak merasa aneh kenapa Gilang asik keluar saja, walau mereka tak pernah berfikir bahwa keluarnya Gilang disebabkan keinginannya untuk bisa ketemu dengan Nisa. Karena Gilang merasa rindu tak tertahan lagi, kadang ia memberanikan diri untuk berinteraksi lewat wa (whats upp) dan ngechat Nisa sekedar bertanya atau menginformasikan tentang lomba video yang mereka ikuti lalu. Misalnya hanya sekedar mengatakan bahwa viewers video mereka bertambah, bertanya pengumuman lombanya kapan, dan lain sebagainya, padahal itu modus Gilang untuk bisa berinteraksi dengan Nisa. Gilang merasa resah juga jika chat nya lama dibalas oleh Nisa, sampai-sampai ia berfikir, apakah itu tidak menarik ya buat Nisa, atau....terlalu sibukkah dia sehingga tak sempat melihat dan membalas chatnya? dan lain sebagainya yang melintas dalam fikiran Gilang. Baru kemudian setelah beberapa lama chat Gilangpun dibalas......Puas sekali rasa Gilang karena ternyata Nisa masih mau membalas chatnya, dan masih mau memberikan respon positif terhadap apa yang ia sampaikan. Gilang juga menyempatkan untuk bertanya apakah Nisa udah makan, jaga kesehatan dan lain sebagainya untuk memberikan perhatiannya kepada Nisa. Alhamdulillah Nisa meresponnya dengan baik, membuat hati Gilang senang dan berbunga-bunga...

Setiap aksi yang diberikan Gilang, ternyata Nisa meresponnya dengan baik, sampai seolah Gilang sampai pada sebuah asumsi bahwa "mungkin Nisa juga merasakan hal sama dengan apa yang kurasakan saat ini".
Sampai di rumah Gilang masih belum bisa menghilangkan wajah Nisa dari kepalanya. Berbagai asumsi dan fikiran yang terbang entah kemana-mana datang silih berganti merasuki fikiran Gilang, walau berbagai asumsi itu tak juga sampai pada sebuah kesimpulan yang valid. Tapi Gilang tetap menikamti berbagai fikiran itu. Di tempat kerja selain melakukan pekerjaan, Gilang juga terkadang duduk-duduk ngobrol dengan teman-temannya, berbincang dan terkadang mereka bermain kartu untuk sekedar melepas penat dari rutinitas kerja seharian. Wah...gawat, ketika Gilang sedang bermain kartu juga ia masih tidak fokus pada kartunya, sehingga beberapa kali ia harus disuruh main oleh temannya, karena sudah gilirannya main tapi tak juga menjatuhkan kartunya. Gilang berusaha juga untuk tertawa dan mencoba menikmati permainan itu, walau sesungguhnya permainan itu sudah sangat memuakkan baginya, dan berharap permainan itu segera selesai dan ia bisa bergerak kesana kemari untuk melihat Nisa. Satu lagi yang buat Gilang kecewa ketika permainan selesai Nisanyapun sudah pulang ke rumah karena sudah selesai bekerja. Duhh.....fikir Gilang, besok-besok aku gak akan mau main lagi. Tapi apa boleh buat kadang atasan Gilang yang mengajaknya bermain, jadi ada rasa segan untuk menolaknya, walau terkadang ia harus menahankan keinginannya untuk bertemu Nisa.
Gemuruh suara orang-orang masih menghiasi perusahaan yang sedang rekrutmen pegawai. Tak habisnya orang terus berusahan untuk bisa menjadi bagian dari perusahaan tersebut. Para pegawai juga berusaha untuk memberikan service excellent kepada orang-orang yang datang ke perusahaan tersebut. Hilir mudik para pegawai dan beberapa pelamar juga tak kalah menghiasi suasana di perusahaan tersebut. Suasana itu sama dengan suasana di fikiran Gilang, hilir mudik, tak jelas..hahaha.
Akhirnya dengan mengumpulkan segenap keberanian, Gilang mencoba untuk ngechat Nisa dan bertanya apakah ia punya waktu untuk sekedar bernyanyi dan refresing? Dimana? tanya Nisa pada Gilang. Di tempat karoke biar enak nyanyinya, jawab Gilang dengan harap-harap cemas. Berdua aja? tanya Nisa? Ya, jawab Gilang sok yakin. Whats up terhenti sebentar dan sesaat kemudian di hape Gilang tertulis, Nisa typing.....dan Gilang berdebar apa gerangan yang bakal tertulis. Oke, jawab Nisa dan wajah Gilang senang gak karuan. Karena Nisa juga senang bernyanyi maka mungkin ia merasa ya udah sekalian lepas-lepas hobi. Merekapun setelah selesai bertugas berangkat ke karoke untuk melampiaskan hobi bernyanyi mereka. Gilang, dengan jantung yang berdebar kencang ketika akan menjemput Nisa untuk berangkat memastikan diri bahwa ia siap untuk pergi berdua dengan Nisa ke tempat karoke. Dalam hati Gilang sebenarnya bukan pergi kemana, tapi pergi dengan siapa...itu yang penting dalam hati Gilang. Merekapun bertemu di satu tempat untuk berangkat. Jantung Gilang semakin berdetak ketika pertama kali melihat Nisa akan masuk ke dalam mobilnya untuk pergi berdua dengannya. Dan....Nisapun masuk ke dalam mobil Gilang.

Wushhhh....mobilpun melaju dengan agak kencang. Beberapa menit Gilang terdiam tak tau mau bicara apa untuk memecah keheningan di dalam mobil. Akhirnya Nisa yang membuka cerita dan bertanya tentang pekerjaan di kantor. Gilangpun menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan Nisa kepadanya dengan agak gugup. Tapi setelah beberapa lama kecanggungan Gilang seperti sudah mulai hilang dan mulai berbicara banyak juga kepada Nisa. Akhirnya sampailah mereka ke tempat tujuan. Nisa mengambil inisiatif untuk memesan room bernyanyi dan setelah itu menyusul Gilang yang masuk. Sampailah mereka di dalam ruangan. Ruangan terasa dingin karena ac yang ada di ruangan tersebut membuat semangat bernyanyi mereka semakin membuncah. Pilihla lagunya bang, seru Nisa pada Gilang. Ah, Nisa aja dulaun yang nyanyi, kata Gilang sok malu-malu. Akhirnya Nisapun memilih lagunya dan mulai bernyanyi. Dua gelas lemon tea datang beserta dua porsi kentang goreng yang dibawa pelayang ruangan itu. Sebuah lagu dari Bruno Marspun terlantun. Gilang sempat terkaget karena ternyata Nisa juga mengerti lagu Bruno Mars dan Gilang yang kurang kenal dengan lagu Bruno Mars yang satu itu malah merasa lagu itu enak di telinganya dan Gilang menikmati benar lagu itu. Suara Nisa juga terdengar sangat merdu di telinganya. Gilangpun memilih lagunya walau bingung tak tau mau lagu apa yang dia nyanyikan. Daripada gak enak sama Nisa, Gilangpun memilih sebuah lagu berjudul "Cancer" yang sudah lama ia nyanyikan sejak dulu. Suara Gilang masih belum total ketika bernyanyi karena masih merasa malu. Tapi mau tak mau ia coba aja untuk menghabiskan lagu itu. Setelah bernyanyi Gilang meminum minuman yang ada di depannya. Lagu terus melantun dari mulut Nisa dan Gilang, sampai sampai kentang yang ada di hadapan mereka tak tersentuh sama sekali sampai mereka selesai dari ruangan tersebut. Dasar insan yang sedang merasa hati mereka mulai bertaut, selera makannya juga semakin berkurang. Apa iya ya? Ntahlah, kalian juga mungkin pernah merasakannya. Setengah jam terakhir Gilang sangat penasaran dan ingin sekali memegang tangan Nisa. Ia mulai merapatkan duduknya dengan Nisa yang sedang bernyanyi. Deguban jantung Gilang semakin tak karuan antara berani atau tidak untuk memegang tangan Nisa yang sedang ia letakkan di atas pahanya. Konsentrasi Gilang tidak lagi pada lagu yang dinyanyikan Nisa, tapi pada membentuk keberanian untuk memegang tangan Nisa. Gilang sempat berfikir, kalau waktu sudah habis maka habis pulalah kesempatan untuk memegang tangan Nisa. Maka iapun dengan segenap keberaniannya menyentuh tangan Nisa dan mulai memegangnya. Dan......jantung Nisa berdegup kencang dan tak mnyangka kalau Gilang berani memegang tangannya. Entah apa yang ada di fikiran Nisa saat itu, tapi ternyata Nisa tidak menarik tangannya dan membuka tangannya untuk menyambut genggaman tangan Gilang. Senangnya tak ketulungan, seolah Gilang tak ingin melepas genggaman tangannya itu sampai waktu habis. Nisa sempat menoleh Gilang sambil tersenyum dan Gilangpun membalas senyuman itu.
Langit memerah dan awan-awan mulai menutupi matahari yang sudah mulai lelah menerangi daratan bumi yang dipijak Gilang dan Nisa. Merekapun menuju pulang dengan segenap perasaan yang mengendap dalam hati mereka masing-masing. Di mobil Gilang berbasa basi tentang kemampuan Nisa bernyanyi, begitu juga Nisa tak kalah memuji Gilang yang tak kalah hebat suaranya. Tak habis mereka berbincang tentang lagu lagu yang mereka nyanyikan dan Gilang mengatakan kesalutannya pada Nisa ketika ia menyanyikan lagu Bruno Mars tadi. Enak sekali lagu itu, kata Gilang. Ya, Nisa memang penggemar Bruno Mars, kata Nisa dengan tenang. Gilang heran ternyata cewek juga bisa suka pada lagu itu. Mobil Jazz Merah yang membawa mereka melaju dengan kencang dan mengantarkan mereka samapai ke tujuan. Sampailah Gilang ke tempat tujuan mengantarkan Nisa pulang. Dan perpisahanpun harus terjadi lagi walau untuk sementara. Rasa sedih di hati Gilang terasa sekali dan ia merasa ingin lama-lama lagi bersama dengan Nisa. Nisa juga ternyata sudah merasakan hal yang sama, tapi apa boleh buat, mereka harus pulang ke rumah masing-masing dengan harapan esok masih ada buat mereka, ya...buat mereka, bukan buat pekerjaan mereka.