Assalamu"alaikum, salam sejahtera buat kita semua. Kali ini saya hanya ingin menuliskan tentang Politik Etis pada masa penjajahan Belanda dahulu, tetapi tulisan ini juga berasal dari buku bacaan yang saya baca, yaitu buku "Api Sejarah, Mahakarya Ulama dan Santri dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia", karya Ahmad Mansyur Suryanegara, 2014.
Ilustrasi gambar
Kerajaan Protestan Belanda menyadari realitas keuletan ulama dan santri dalam menjawab penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda bersama pembantu setianya. Ulama dan santri sebagai kelompok intelektual pada zamannya tetap mampu memberikan bimbingan dan pimpinan terhadap masyarakat yang sedang tertindas. Kemudian disadarkan dengan adanya kritik yang dilemparkan oleh Mr.Conrad Th. van Deventer dalam majalah De Gids, 1899 M, berjudul De Eereschuld-A Debt of Honor (Utang Kehormatan). Perlu disadari bahwa kemajuan Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda diperoleh dari pengorbanan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan hutang kehormatan yang wajib dibayar dengan memajukan pendidikan kaum pribumi. Untuk menjawab berbagai kritikan dari kalangan Liberal, Kerajaan Protestan Belanda sebagai penjajah, merencanakan memberlakukan Etische Politiek (Politik Etis, 1901), dengan Triloginya, Educatie (Edukasi), Irigatie (Irigasi), dan Emigratie (Emigrasi). Namun, dalam pelaksanaannya trilogi ini tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk memertahankan penjajahannya. Mereka beranggapan bahwa bila Indonesia merdeka, segalanya akan hilang.
Guna menghindarkan hal tersebut, dilaksanakanlah upaya memodernisasikan segenap perangkat penjajahan.
Edukasi
Mendirikan sekolah untuk pribumi yang mampu bersaing dengan pesantren. Hal ini bertujuan mematikan pengaruh ulama. Pendidikan penjajah bertujuan untuk menumbuhkan jiwa loyalitas pribumi terhadap penjajah Kerajaan Protestan Belanda. Untuk kepentinga tersebut, pelaksanaan sistemp pendidikan penjajah tidak luput dari kepentingan divide and rule (pecah belah dan kuasai). Maksudnya dipecah belah jiwa bangsa sejak kanak-kanak melalui pembedaan pelayanan sistem pendidikan. Dideskriminasikanlah sistem pendidikan tersebut atas dasar etnis, strata sosial serta hereditas antara bangsawan dan rakyat jelata.
Golongan Eropa dan generasi muda penjajah barat mendapat perlakuan istimewa. Didirikanlah Sekolah Dasar dengan nama Europe Lager School (ELS). Di sekolah ini diizinkan pula anak bangsawan ikut serta. Tujuannya, memisahkan anak bangsawan agar terjauh dari pengaruh ulama. Pada umumnya, putra raja mendapat pendidikan agama di bawah asuhan ulama istana.
Etnis Cina mendapat kesempatan untuk membangun sekolah sendiri. Ambon, satu-satunya suku pribumi, mendapat perlakuan yang berbeda. Mereka diizinkan mendirikan sekolah khusus untuk suku Ambon, Ambonsche Burger School (ABS). Prioritas ini diberikan kepada Cina karena dinilai sebagai warga negara kelas dua. Adapun Ambon sebagai etnis dan serdadu yang dinilai sangat loyal kepada pemerintah kolonial Belanda.
Sekitar 80 tahun kemudian, pada 1907, barulah didirikan sekolah untuk anak-anak pribumi Islam .
Tujuan pendidikan pemerintah Kolonial Belanda bukan untuk mencerdaskan anak bangsa atau pribumi. Bahkan sebaliknya, Protestan Belanda sebagai penjajah, berusaha agar pribumi muslim tetap terbelakang dan terbelenggu dalam rasa rendah diri. Secara sistematis pendidikan dijadikan media penciptaan stratifikasi sosial yang feodalistis. Sekali lagi, pendirian sekolah bertujuan bukan untuk mencerdaskan rakyat jajahan, melainkan untuk melahirkan pekerja murah dalam jumlah terbatas.
Muncullah pertanyaan, bagaimanakah realitas pelaksanaan Politik Etis di bidang Pendidikan ?
Irigasi
Dalam rangka melumpuhkan seluruh kekuatan Ulama dan Santri serta sawah ladangnya, sebagai sumber pangan atau logistik, irigasi digunakan pula sebagai senjata utama oleh pemerintah kolonial Belanda.Tanpa air yang teratur, sawah dan ladangnya tidak akan produktif. Dengan demikian akan berdampak melemahkan sumber dana dan logistik. Dengan kata lain, ulama dan santri, dalam upayanya memenuhi kebutuhan air untuk sawah ladangnya menjadi bergantung pada sistem irigasi yang dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Apa yang terjadi jika sawah dan ladangnya kering? dapat dipastikan, timbullah bencana kelaparan.
Strategi ulama dalam menjawab tantangan tersebut adalah dengan membina kesadaran jiwa massa pendukungnya dan terumuskan dalam bahasa Jawa sederhana "mangan ora mangan asal kumpul". Artinya makan atau tidak makan hendaknya tetap berjamaah dengan ulama'. Jangan sampai menyeberang berpihak kepada penjajah. Dengan kata lain, jangan sampai kelaparan dijadikan alasan untuk beralih agama dan mendukung penjajahan. Ulama Sunda pun mengajarkan dengan bahasa "bangkok ngoronyok, bengkung ngariung". Artinya walaupun secara fisik berkondisi sangat parah, jiwa wajib tetap istiqomah dan selalu berjamaah, jangan sampai menjauh dari kepemimpinan ulama.
Emigrasi
Akibat dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah baru di luar pulau Jawa yang belum ada penghuninya, tenaga kerja perlu didatangkan dari daerah yang berpenduduk padat di pulau Jawa. Pemindahan penduduk itu dikenal dengan istilah emigrasi. Pemidahan tenaga kerjapun terkait dengan upaya memperlemah kedudukan Ulama dan Santri. Dengan dipindahkannya masyarakat pendukung, para ulamapun akan kehilangan basis suplainya.
Pemidahan tenaga kerja atau petani muslim dilaksanakan di tengah berlangsungnya sistem Tanam Paksa (1830 - 1919 M). Mereka dipindahkan dari daerah yang rawan perlawanan bersenjata atau protes sosial dan dilakukan secara silang wilayah. Kadang-kadang dipindahkan secara bedol desa, pemindahan seluruh warga desa. Sistem pemindahan penduduk tidak dilaksanakan secara sukarela, tetapi dipaksa dan disertai Poenale Sanctie. Suatu hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melarikan diri dari daerah kerja paksanya.
Nah Guys, semoga tulisan ini bermanfaat untuk menjadi sedikit pengetahuan sejarah kita agar kita lebih mencintai bangsa Indonesia ini dengan benar. See u again...assalamu'alaikum.